Rabu, 13 Mei 2015

JENIS-JENIS FORMULASI PESTISIDA


Pestisida (Inggris : pesticide) secara harafiah berarti pembunuh hama (pest:hama; cide:membunuh). Menurut Peraturan Pemerintah No. 7/1973, pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk (Djojosumarto, 2000) :

  1. mengendalikan atau mencegah hama atau penyakit yang merusak tanaman, bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian;
  2. mengendalikan rerumputan;
  3. mengatur atau merangsang pertumbuhan yang tidak diinginkan;
  4. mengendalikan atau mencegah hama-hama luar pada hewan peliharaan atau ternak;
  5. mengendalikan hama-hama air;
  6. mengendalikan atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang perlu dilindungi, dengan penggunaan pada tanaman, tanah, dan air.
Sedangkan definisi menurut The United States Federal Environmental Pesticide Control Act, pestisida adalah semua zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas atau mencegah gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama kecuali virus, bakteri, atau jasad renik yang terdapat pada manusia atau binatang lainnya. Atau semua zat atau campuran zat yang dimaksudkan untuk digunakan sebagai pengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman (Sudarmo, 1988).
Pestisida dapat membantu manusia dalam mengatasi gangguan hama tanaman, namun aplikasi pestisida dapat juga menimbulkan akibat-akibat samping yang merugikan manusia maupun lingkungan. Musuh-musuh alami (predator dan parasit) hama yang terkena pestisida bisa ikut mati. Biasanya musuh-musuh alam lebih peka terhadap pestisida dibanding hama sasaran. Pestisida dapat digolongkan menjadi bermacam-macam berdasar fungsi, antara lain : akarisida, algisida, avisida, bakterisida, fungisida, herbisida, insektisida, molluskisida, nematisida, rodentisida, silvisida, termisida dan lain-lain (Sudarmo, 1988).
Pestisida diaplikasikan dengan berbagai cara. Cara-cara mengaplikasikan pestisida di antaranya yaitu : Penyemprotan (spraying), pengasapan (fumigation), penghembusan (dusting), penaburan pestisida butiran, perawatan benih, pencelupan fumigasi, injeksi dan penyiraman (Djojosumarto, 2000).
Pestisida memiliki beberapa formulasi, antara lain (Maspary, 2010):
1.   EC (Emulsifiable Cocentrate atau Emulsible Cocentrate). Berbentuk pekatan (konsentrat) cair dengan konsentrasi bahan aktif yang cukup tinggi. Konsentrasi ini jika dicampur dengan air akan membentuk emulsi. EC umumnya digunakan dengan cara disemprot, meskipun dapat pula digunakan dengan cara lain.
2.      Soluble Concentrate in Water (WSC) atau Water Soluble Concentrate (WSC). Formulasi ini mirip EC, tetapi bila dicampur air tidak membentuk emulsi, melainkan membentuk larutan homogen. Umumnya formulasi ini digunakan dengan cara disemprotkan.
3.      Aeous Solution (AS) atau Aquaous Concentrate (AC). Pekatan ini diarutkan dalam air. Pestisida yang diformulasi dalam bentuk AS dan AC umumnya pestisida berbentuk garam yang mempunyai kelarutan tinggi dalam air. Pestisida ini juga digunakan dengan cara disemprot.
4.      Soluble (SL). Pekatan cair ini jika dicampurkan air akan membentuk larutan. Pestisida ini digunakan dengan cara disemprotkan. SL juga dapat mengacu pada formulasi slurry.
5.      Flowable (F) atau Flowable in Water (FW). Formulasi ini berupa konsentrasi cair yang sangat pekat. Bila dicampur air, F atau FW akan membentuk emulsi seperti halnya WP. Pada dasarnya FW adalah WP yang dibasahkan.
6.      Ultra Low Volume (ULV). Khusus untuk penyemprotan dengan volume ultra rendah, yakni volume semprot antara 1 hingga 5 liter/hektar. ULV umumnya merupakan sediaan siap pakai, tanpa harus dicampur dengan air.
7.      Wettable Powder (WP). Formulasi WP bersama EC merupakan formulasi klasik yang masih banyak digunakan hingga saat ini. WP adalah formulasi bentuk tepung yang bila dicampur air akan membentuk suspensi yang penggunaannya dengan cara disemprot.
8.      Soluble powder (S atau SP). Formulasi bentuk tepung yang bia dicampur air akan menghasilkan larutan homogen. Pestisida ini juga digunakan dengan cara disemprotkan.
9.      Butiran/Granule (G). Butiran yang umumnya merupakan sediaan siap pakai dengan konsentrasi rendah. Pestisida butiran digunakan dengan cara ditaburkan di lahan (baik secara manual dengan tangan atau dengan mesin penabur), setelah penaburan dapat juga diikuti dengan pegolahan tanah. Disamping formulasi G dikenal juga fomulasi SG, yakni sand granular.
10.  Water Dipersible Granule (WG atau WDG). WDG atau WG berbentuk butiran, mirip G, tetapi penggunaanya sangat berbeda. Formulasi WDG harus diencerkan denga air dan digunakan dengan cara disemprotkan.
11.  Seed dreesing (SD) atau Seed Treatment (ST). Sediaan berbentuk tepung yang khusus digunakan untuk perawatan benih.
12.  Tepung Hembus atau Dust (D). Sediaan siap pakai dengan konsentrasi rendah yang digunakan dengan cara dihembuskan.

13.  Umpan atau bait (B) ready Mix Bait (RB atau RMB). umpan merupakan formulasi siap pakai yang umumya digunakan untuk formulasi rodentisida.

PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH PESTISIDA


PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH PESTISIDA

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Pencemaran lingkungan yang terjadi saat ini kebanyakan disebabkan oleh penggunaan bahan kimia yang berlebihan. Dari sector pertanian sendiri penggunaan bahan kimia yang dapat merusak lingkungan adalah penggunaan pestisida. Hampir semua pertanian yang ada saat ini menggunakan bahan kimia, baik pestisida maupun pupuk kimia.
            Pestisida sendiri merupakan bahan kimia yang dapat menurunkan OPT (Organisme pengganggu Tumbuhan), namun sayangnya terkadang petani menggunakan pestisida berlebihan yang nantinya akan berdampak pada pencemaran ligkungan. Untuk mengurangi kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan sebaiknya memperhatikan Informasi yang terperinci tentang tingkat keracunan, keberadaan dalam tanah, jalan pengangkutan yang lebih dominan dari berbagai herbisida, insektisida dan fungisida hendaknya diketahui. Kondisi cuaca penting diperhatikan pada saat pengaplikasian.

B. Tinjauan Pustaka
Pestisida secara umum digolongkan kepada jenis organisme yang akan dikendalikan populasinya. Insektisida, herbisida, fungsida dan nematosida digunakan untuk mengendalikan hama, gulma, jamur tanaman yang patogen dan nematoda. Jenis pestisida yang lain digunakan untuk mengendalikan hama dari tikus dan siput (Alexander, 1977).
Dalam bidang pertanian pestisida merupakan sarana untuk membunuh jasad pengganggu tanaman. Dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu, pestisida berperan sebagai salah satu komponen pengendalian,yang mana harus sejalan dengan komponen pengendalian hayati, efisien untuk mengendalikan hama tertentu, mudah terurai dan aman bagilingkungan sekitarnya. Penerapan usaha intensifikasi pertanian yang menerapkan berbagai teknologi, seperti penggunaan pupuk, varietas unggul, perbaikan pengairan, pola tanam serta usaha pembukaan lahan baru akan membawa perubahan pada ekosistem yang sering kali diikuti dengan timbulnya masalah serangan jasad penganggu. Cara lain untuk mengatasi jasad penganggu selain menggunakan pestisida kadang-kadang memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang besar dan hanya dapat dilakukan pada kondisi tertentu. Sampai saat ini hanya pestisida yang mampu melawan jasad penganggu dan berperan besar dalam menyelamatkan kehilangan hasil (Sudarmo, 1991).
Dalam penerapan di bidang pertanian, ternyata tidak semua pestisida mengenai sasaran. Kurang lebih hanya 20 persen pestisida mengenai sasaran sedangkan 80 persen lainnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu pestisida tersebut mengakibatkan pencemaran lahan pertanian. Apabila masuk ke dalam rantai makanan, sifat beracun bahan pestisida dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, mutasi, bayi lahir cacat, CAIDS (Chemically Acquired Deficiency Syndrom) dan sebagainya (Sa’id, 1994).
Setiap kemasan dari bahan-bahan kimia pertanian harus dilengkapi/menggunakan keterangan perlindungan bagi keamanan pengguna. Jenis dan tingkat perlindungan berbeda tergantung pada tingkat keracunan dari masing-masing bahan kimia pertanian. Penyimpanan yang tepat dari bahan-bahan kimia pertanian dan keterangan mengenai pelepasan dari bahan kimia pertanian ke lingkungan termasuk tingkat yang dapat meracuni dan digambarkan pada label dari kemasan tersebut. Dengan memperhatikan keterangan-keterangan ini, keamanan para pengguna, keamanan dari pangan, keamanan dari konsumen pangan dan keamanan lingkungan dapat diwujudkan (Uehara, 1993).
  

II. ISI

            Lingkungan merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup (organisme ). Lingkungan dapat terceamar, pencemaran lingkungan dapat terjadi secara alami maupun buatan. Contoh pencemaran buatan antara lain limbah baik pabrik maupun rumah tangga, serta bahan kimia berbahaya antara lain pestisida. Besar kecilnya pencemaran lingkungan khusunya oleh pestisida ditentuka berdasarkan faktor toksisitas, lama pemaparan, konsentrasi dan volume.
 Batasan pencemaran menurut UU No. 4 Tahun 1982, menjelaskan bahwa “Pencemaran” adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energy dan atau komponen lain kedalam lingkungan dan atau merubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kwalitas lingkungan turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menmjadi kurang atau tidak dabat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Pencemaran suatu lingkungan bisanya melalui tahap-tahap yaitu:
1. Tingkatan Pertama
Bila zat pencemar tersebut baik jumlah dan waktu aktifnya tidak membawa akibat yang merugikan manusia.
2. Tingkatan ke-2
Bila zat pencemar sudah mengakibatkan gangguan pada alat- alat panca indera dan alat perkembangbiakan secara vegetatif serta kerusakan lingkungan hidup yang lebih luas.
3. Tingkatan ke- 3
Bila zat pencemar sudah mengakibatkan gangguan fisiologis yang membawa akibat kesakitan yang menahun.
4. Tingkatan ke- 4
Bila zat pencemar sudah mengakibatkan gangguan-ganguan yang gawat seperti kematian dan lain-lain.
            Peningkatan kegiatan pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian juga membawa dampak buruk, salah satunya adalah pencemaran lingkungan yang dtimbulkan akibat penggunaan pestisida. Menurut Sa’id (1994) Pestisida yang paling banyak menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan manusia adalah pestisida sintetik, yaitu golongan organoklorin. Tingkat kerusakan yang disebabkan oleh senyawa organoklorin lebih tinggi dibandingkan senyawa lain, karena senyawa ini peka terhadap sinar matahari dan tidak mudah terurai.
            Pestisida yang digunakan terus menerus dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia, pencemaran pestisida meliputi pencemaran air, tanah, bahkan udara.
1.      Pencemaran air
Residu masuk air sungai, mengalir ke parit-parit sawah, masuk ke saluran tersier ke saluran sekunder dan terbuang ke sungai kita. Sungai mengalir masuk kota, menuju ke hilir dan sebagian rakyat menggunakan air di hilir untuk mandi, cuci dan kakus. Pencemaran bertambah runyam, karena pestisida, sampah rumah tangga dan produk alami.
2.      Pencemaran tanah
Sebagian besar pestisida akan jatuh ketanah, bahkan ada yang memang diaplikasikan kedalam tanah. Sebagian residu ada yang terbawa aliran air tanah, namun tidak sedikit pula yang mengendap dalam partikel tanah. Hal ini dapat membuat mikroorganisme dalam tanah yang tidak berbahaya juga ikut mati. Selain itu tanah menjadi tidak subur, sehingga tanaman tidak akan tumbuh dengan baik.
3.      Pencemaran udara
Penyemprotan pestisida dengan menggunakan helikopter telah menggeser pemakaian tenaga manusia yang dirasakan tidak efektif. Dengan helikopter, dalam waktu sekejap berpuluh-puluh hektar ladang bahan pangan telah tersemprot sekaligus. Tapi daerah-daerah yang bukan sasaran maupun hewan-hewan dan serangga bukan sasaran target pembunuhan ikut menikmati hujan pestisida dari cucuran helikopter.

IV. STUDI KASUS

DDT adalah insektisida organoklorin, mirip dalam struktur ke dicofol dan pestisida methoxychlor. DDT bersifat sangat hidrophobik, yang dihasilkan oleh reaksi dari khloral (CCl3CHO) dengan chlorobenzene (C6H5Cl) dan asam sulfur, yang bertindak sebagai katalisator. DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane) merupakan pestisida sintetis yang merupakan bahan kimia yang panjang, unik, dan mempunyai sejarah yang kontroversial. Pada tahun 1962 Rachel Carson dalam bukunya yang terkenal, Silent Spring, menjuluki DDT sebagai obat yang membawa kematian bagi kehidupan di bumi. Demikian berbahayanya DDT bagi kehidupan di bumi sehingga atas rekomendasi EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat pada tahun 1972 DDT dilarang digunakan terhitung 1 Januari 1973. Pengaruh buruk DDT terhadap lingkungan  sudah mulai tampak sejak awal penggunaannya pada tahun 1940-an, dengan menurunnya populasi burung elang sampai hampir punah di Amerika Serikat. Dari pengamatan ternyata elang terkontaminasi DDT dari makanannya (terutama ikan sebagai mangsanya) yang tercemar DDT.  DDT menyebabkan cang­kang telur elang menjadi sangat rapuh sehingga rusak jika dieram. Dari segi bahayanya, oleh EPA DDT digolongkan dalam bahan racun PBT (persistent, bioaccumulative, and toxic) material.
Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup adalah:
  1. Sifat apolar DDT: DDT tidak larut dalam air tapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida dalam lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit
  2. Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten. DDT sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan hidup, masuk rantai makanan (foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup. Itu sebabnya DDT bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif. Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah; bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah.
Dalam ilmu lingkungan DDT termasuk dalam urutan ke-3 dari polutan organik yang persisten (Persistent Organic Pollutants, POP), yang memiliki sifat-sifat berikut:
  • tidak terdegradasi melalui fotolisis, biologis maupun secara kimia,
  • berhalogen (biasanya klor),
  • daya larut dalam air sangat rendah,
  • sangat larut dalam lemak,
  • semivolatile,
  • di udara dapat dipindahkan oleh angin melalui jarak jauh,
  • bioakumulatif,
  • biomagnifikatif (toksisitas meningkat sepanjang rantai makanan)
 Di Amerika Serikat, DDT masih terdapat dalam tanah, air dan udara. Kandungan DDT dalam tanah berkisar sekitar 0.18 sampai 5.86 parts per million (ppm), sedangkan sampel udara menunjukkan kandungan DDT  0.00001 sampai 1.56 microgram per meter kubik udara (ug/m3), dan di perairan (danau) kandungan DDT dan DDE pada taraf 0.001 microgram per liter (ug/L). 
Gejala keracunan akut pada manusia adalah paraestesia, tremor, sakit kepala, keletihan dan muntah. Efek keracunan kronis DDT adalah kerusakan sel-sel hati, ginjal, sistem saraf, sistem imunitas dan sistem reproduksi. Efek keracunan kronis pada unggas sangat jelas antara lain terjadinya penipisan cangkang telur dan demaskulinisasi.
Sejak tidak digunakan lagi (1973) kandungan DDT dalam tanaman semakin menurun. Pada tahun 1981 rata-rata DDT dalam bahan makanan yang termakan  oleh manusia adalah 32-6 mg/kg/hari, terbanyak dari umbi-umbian dan dedaunan. DDT ditemukan juga dalam daging, ikan dan unggas.
Walaupun di negara-negara maju (khususnya di Amerika Utara dan Eropah Barat) penggunaan DDT telah dilarang, di negara-negara berkembang terutama India, RRC dan negara-negara Afrika dan Amerika Selatan, DDT masih digunakan. Banyak negara telah mela­rang penggunaan DDT kecuali dalam keadaan darurat terutama jika muncul wabah penyakit seperti malaria, demam berdarah dsb. Departeman Pertanian RI telah melarang penggunaan DDT di bidang pertanian sedangkan larangan penggunaan DDT di bidang kesehatan dilakukan pada tahun 1995.  Komisi Pestisida RI juga sudah tidak memberi perijinan bagi pengunaan pestisida golongan hidrokarbon-berklor (chlorinated hydrocarbons) atau organoklorin (golongan insektisida di mana DDT termasuk).
Walaupun secara undang-undang telah dilarang, disinyalir DDT masih juga secara gelap digunakan karena keefektifannya dalam membunuh hama serangga. Demikian pula, banyaknya DDT yang masih tersimpan yang perlu dibinasakan tanpa membahayakan ekosistem manusia maupun kehidupan pada umumnya merupakan permasalahan bagi kita. Sebenarnya, bukan saja DDT yang memiliki daya racun serta persistensi yang demikian lamanya dapat bertahan di lingkungan hidup. Racun-racun POP lainnya yang juga perlu diwaspadai karena mungkin saja terdapat di tanah, udara maupun perairan di sekitar kita adalah aldrin, chlordane, dieldrin, endrin, heptachlor, mirex, toxaphene, hexachlorobenzene, PCB (polychlorinated biphenyls), dioxins dan furans.
Untuk mengeliminasi bahan racun biasanya berbagai cara dapat digunakan seperti secara termal, biologis atau kimia/fisik. Untuk Indonesia dipertimbangkan untuk mengadopsi cara stabilisasi/fiksasi karena dengan cara termal seperti insinerasi memerlukan biaya sangat tinggi. Prinsip stabilisasi/fiksasi adalah membuat racun tidak aktif/imobilisasi dengan enkapsulasi mikro dan makro sehingga DDT menjadi berkurang daya larutnya. Namun  permasalahan tetap masih ada karena DDT yang telah di-imobilisasi ini masih harus dibuang sebagai landfill di tempat yang aman. Namun dengan cara ini potensi racun DDT masih tetap bertahan untuk waktu yang lama pada abad 21 ini.
Pada bulan Juli 1998, perwakilan dari 120 negara bertemu untuk membahas suatu pakta Persatuan Bangsa Bangsa untuk melarang penggunaan DDT sebagai insektisida dan 11 bahan kimia lainnya secara global pada tahun 2000. Amerika Serikat dan negara-negara industri lain menyetujui pelarangan ini karena bahan-bahan kimia ini adalah senyawa kimia yang persisten dimana senyawa-senyawa ini dapat terakumulasi dan merusak ekosistem alami dan memasuki rantai makanan manusia. Namun banyak negara tidak setuju dengan pelarangan DDT secara global karena DDT digunakan untuk mengkontrol nyamuk penyebab malaria. Malaria timbul di 90 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan merupakan penyebab kematian dalam jumlah besar terutama daerah ekuatorial Afrika.
Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa 2.5 juta orang tewas setiap tahun akibat malaria dan ini kian terjadi di berbagai belahan dunia. Namun karena DDT begitu efektif dalam mengontrol nyamuk penyebab malaria, banyak ahli berpikir bahwa insektisida menyelamatkan lebih banyak jiwa dibandingkan bahan kimia lainnya.
DDT diproduksi secara massal pada tahun 1939, setelah seorang kimiawan bernama Paul Herman Moller menemukan dengan dosis kecil dari DDT maka hampir semua jenis serangga dapat dibunuh dengan cara mengganggu sistem saraf mereka. Pada waktu itu, DDT dianggap sebagai alternatif murah dan aman sebagai jenis insektisida bila dibandingkan dengan senyawa insektisida lainnya yang berbasis arsenik dan raksa. Sayangnya, tidak seorangpun yang menyadari kerusakan lingkungan yang meluas akibat pemakaian DDT.
Sebagai suatu senyawa kimia yang persisten, DDT tidak mudah terdegradasi menjadi senyawa yang lebih sederhana. Ketika DDT memasuki rantai makanan, ini memiliki waktu paruh hingga delapan tahun, yang berarti setengah dari dosis DDT yang terkonsumsi baru akan terdegradasi setelah delapan tahun. Ketika tercerna oleh hewan, DDT akan terakumulasi dalam jaringan lemak dan dalam hati. Karena konsentrasi DDT meningkat saat ia bergerak ke atas dalam rantai makanan, hewan predator lah yang mengalami ancaman paling berbahaya. Populasi dari bald eagle dan elang peregrine menurun drastis karena DDT menyebabkan mereka menghasilkan telur dengan cangkang yang tipis dimana telur ini tidak akan bertahan pada masa inkubasi. Singa laut di lepas pantai California akan mengalami keguguran janin setelah memakan ikan yang terkontaminasi.
Para peneliti lingkungan dan pakar wabah penyakit mulai mengamati serius dampak unsur pengganggu itu sejak tiga dekade lalu. Mula-mula diketahui, racun pembunuh serangga yang amat ampuh dan digunakan secara luas membasmi nyamuk malaria, yakni DDT (dichloro diphenytrichloroethane) memiliki dampak sampingan amat merugikan. DDT memiliki sifat larut dalam lemak. Karena itu, residunya terus terbawa dalam rantai makanan, dan menumpuk dalam jaringan lemak. Dari situ, sisa DDT mengalir melalui air susu ibu kepada anaknya, baik pada manusia maupun pada binatang. Binatang pemangsa mendapat timbunan sisa DDT dari binatang makanannya. Rantainya seolah tidak bisa diputus.
Pengamatan terhadap burung pemangsa menunjukkan, DDT menyebabkan banyak burung yang memproduksi telur dengan kulit amat tipis, sehingga mudah pecah. Selain itu, terlepas dari tebal tipisnya kulit telur, semakin banyak anak burung pemangsa yang lahir cacat. Penyebaran residu DDT bahkan diamati sampai ke kawasan kutub utara dan selatan. Anjing laut di kutub utara, banyak yang melahirkan anak yang cacat, atau mati pada saat dilahirkan. Penyebabnya pencemaran racun serangga jenis DDT.














DAFTAR PUSTAKA

Abrar. 2010. Dampak DDT terhadap Lingkungan. <lessonabrar.wordpress.com>. Diakses Tanggal 15 Januari 2012.

Alexander, M., 1977. Soil Microbiology, Second Edition. John Wiley & Sons, Ind., New York.

Sa’id, E.G., 1994. Dampak Negatif Pestisida, Sebuah Catatan bagi Kita Semua. Agrotek. Vol. 2(1). IPB, Bogor.

Sudarmo, S., 1991. Pestisida. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.


Uehara, K., 1996. The Present State of Plant Protection in Japan-Safety Countermeasures for Agriculture Chemicals. Japan Pesticide Information. Japan Plant Protection Association, Tokyo. Japan.

Ikuti Saya ^___^

visitors

 

My Blog List

Feedjit

PLANT HOSPITAL Copyright © 2009 Flower Garden is Designed by Ipietoon for Tadpole's Notez Flower Image by Dapino