Jumat, 30 September 2011

REVOLUSI HIJAU


Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini.

Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.

Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.

A.Revolusi Hijau

Teknologi genetika memicu terjadinya Revolusi Hijau (green revolution) yang sudah berjalan sejak 1960-an. Dengan adanya Revolusi Hijau ini terjadi pertambahan produksi pertanian yang berlipat ganda sehingga tercukupi bahan makanan pokok asal serealia.
Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Grakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.
Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rejim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989. Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965. Pertanian revolusi hijau juga dapat disebut sebagai kegagalan karena produknya sarat kandungan residu pestisida dan sangat merusak ekosistem lingkungan dan kesuburan tanah.

B.Pestisida dan Pupuk Buatan

Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker. Bahkan jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residu pestisida, maka janin yang dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat. Penggunaan pestisida juga menyebabkan terjadinya peledakan hama —suatu keadaan yang kontradiktif dengan tujuan pembuatan pestisida— karena pestisida dalam dosis berlebihan menyebabkan hama kebal dan mengakibatkan kematian musuh alami hama yang bersangkutan.
Namun, mitos obat mujarab pemberantas hama tetap melekat di sebagian petani. Mereka tidak paham akan bahaya pestisida. Hal ini disebabkan karena informasi yang sampai kepada mereka adalah ‘jika ada hama, pakailah pestisida merek A’. para petani juga dibanjiri impian tentang produksi yang melimpah-ruah jika mereka menggunakan pupuk kimia. Para penyuluh pertanian adalah ‘antek-antek’ pedagang yang mempromosikan keajaiban teknologi modern ini. Penyuluh pertanian tidak pernah menyampaikan informasi secara utuh bahwa pupuk kimia sebenarnya tidak dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah, sehingga tanah menghadapi bahaya erosi. Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus juga akan mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk buatan dari tahun ke tahun terus menurun.

C.Revolusi Hijau dan Dampak Buruknya

Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian.
Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah

Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani.

Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat:Berbagai organisme penyubur tanah musnah. Kesuburan tanah merosot / tandus Tanah mengandung residu (endapan pestisida) Hasil pertanian mengandung residu pestisida Keseimbangan ekosistem rusak. Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama.

Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri. Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh mem-biakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia —yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini.
Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa “petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya”, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni “petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam” (program pemerintah). Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah.
Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi Hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang.

Mitos akan kehebatan Revolusi Hijau lahir karena ditopang oleh teknologi yang dikembangkan dari sistem ilmu pengetahuan modern, mulai dari genetika sampai kimia terapan. Pantas jika Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian alami di Jepang, pernah berkata: “Peranan ilmuwan dalam masyarakat itu analog dengan peranan diskriminasi di dalam pikiran-pikiran Anda sendiri.”. Telah terbukti bahwa penerapan Revolusi Hijau di Indonesia memberi dampak negatif pada lingkungan karena penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Dan Revolusi Hijau di Indonesia tidak selalu mensejahterakan petani padi
Salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah Orde Baru adalah produksi pangan yang tidak seimbang dengan kepadatan penduduk yang terus meningkat. Oleh karena itu pemerintah Orde Baru memasukkan Revolusi Hijau dalam program Pelita. Revolusi Hijau ini dilaksanakan secara nasional. Apa sih Revolusi Hijau itu? Revolusi Hijau adalah perubahan besar berkaitan dengan soal penggarapan tanah dan pertanian.

Dampak positif Revolusi Hijau di Indonesia :

a. Meningkatkan produktivitas tanaman pangan.
b. Peningkatan produksi pangan menyebabkan kebutuhan primer masyarakat industri menjadi terpenuhi.
c. Indonesia berhasil mencapai swasembada beras.
d. Kualitas tanaman pangan semakin meningkat.

Sedangkan dampak negatif Revolusi Hijau di Indonesia antara lain :

a. Penggunaan pupuk buatan dan pwstisida secara berlebihan akan mengakibatkan lahan pertanian menjadi tidak subur lagi.
b. Berkurangnya keanekaragaman genetic jenis tanaman tertentu yang disebabkan oleh penyeragaman jenis tanaman tertentu yang dikembangkan.
c. Adanya mekanisme pertanian mengakibatkan cara bertani tradisional menjadi terpinggirkan.
d. Rasa kegotongroyongan semakin menurun.
e. Hasil panen dari beberapa kawasan Revolusi Hijau mengalami penurunan.

Pada dasarnya kebijakan-kebijakan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Presiden Soeharto pun mendapatkan gelar Bapak Pembangunan karena berhasil mewujudkan pembangunan nasional. Pembangunan nasional pada masa ini juga menimbulkan sisi negative yang ditandai dengan munculnya gejala crony capitalism yaitu istilah yang merujuk pada kapitalis-kapitalis yang melingkari pemerintahan Orde Baru berdasarkan asas-asas kekerabatan. Adanya crony capitalism tersebut telah memunculkan ketidakmerataan ekonomi yang imbasnya dirasakan masyarakat terutama kelas menengah ke bawah. Kondisi tersebut memunculkan penyakit sosial yang menghinggapi elemen pemerintahan dan masyarakat yang kemudian dikenal dengan praktik KKN.

PERKEMBANGAN REVOLUSI HIJAU, TEKNOLOGI dan INDUSTRIALISASI

Kebijakan modernisasi pertanian pada masa Orde baru dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau.
Revolusi Hijau merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional ke cara modern.
Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan suatu revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan tingginya hasil panen komoditas tersebut.
Tujuan Revolusi hijau adalah mengubah petani-petani gaya lama (peasant) menjadi petani-petani gaya baru (farmers), memodernisasikan pertanian gaya lama guna memenuhi industrialisasi ekonomi nasional. Revolusi hijau ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena peningkatan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan produksi bahan makanan.

Latar belakang munculnya revolusi Hijau adalah karena munculnya masalah kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Sehingga dilakukan pengontrolan jumlah kelahiran dan meningkatkan usaha pencarian dan penelitian binit unggul dalam bidang Pertanian. Upaya ini terjadi didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Thomas Robert Malthus.
Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menggalakan revolusi hijau ditempuh dengan cara :

1. Intensifikasi Pertanian

Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal dengan nama Panca Usaha Tani yang meliputi :

a. Pemilihan Bibit Unggul

b. Pengolahan Tanah yang baik

c. Pemupukan

d. Irigasi

e. Pemberantasan Hama

2. Ekstensifikasi Pertanian

Ekstensifikasi pertanian, yaitu Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami dengan pembukaan lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus menjadi lahan yang dapat ditanami, membuka hutan, dsb).

3. Diversifikasi Pertanian

Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan pertanian melalui sistem tumpang sari. Usaha ini menguntungkan karena dapat mencegah kegagalan panen pokok, memperluas sumber devisa, mencegah penurunan pendapatan para petani.

4. Rehabilitasi Pertanian

Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya pertanian yang kritis, yang membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut. Usaha pertanian tersebut akan menghasilkan bahan makanan dan sekaligus sebagai stabilisator lingkungan.

Pelaksanaan Penerapan Revolusi Hijau:

1. Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada petani.

2. Kegiatan pemasaran hasil produksi pertanian berjalan lancar sering perkembangan teknologi dan komunikasi.

3.Tumbuhan yang ditanam terspesialisasi atau yang dikenal dengan monokultur, yaitu menanami lahan dengan satu jenis tumbuhan saja.

4.Pengembangan teknik kultur jaringan untuk memperoleh bibit unggul yang diharapkan yang tahan terhadap serangan penyakit dan hanya cocok ditanam di lahan tertentu.

5.Petani menggunakan bibit padi hasil pengembagan Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI=International Rice Research Institute) yang bekerjasama dengan pemerintah, bibit padi unggul tersebut lebih dikenal dengan bibit IR.

6.Pola pertanian berubah dari pola subsistensi menjadi pola kapital dan komersialisasi.

7.Negara membuka investasi melalui pembangunan irigasi modern dan pembagunan industri pupuk nasional.

8.Pemerintah mendirikan koperasi-koperasi yang dikenal dengan KUD (Koperasi Unit Desa).

Dampak Positif Revolusi Hijau :

1.Memberikan lapangan kerja bagi para petani maupun buruh pertanian.

2.Daerah yang tadinya hanya dapat memproduksi secara terbatas dan hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal masyarakatnya dapat menikmati hasil yang lebih baik karena revolusi hijau.

3.Kekurangan bahan pangan dapat teratasi.

4.Sektor pertanian mampu menjadi pilar penyangga perekonomian Indonesia terutama terlihat ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi sehingga orang beralih usaha ke sektor agrobisnis.
Dampak Negatif Revolusi Hijau :

5.Muncullah komersialisasi produksi pertanian

6.Muncul sikap individualis dalam hal penguasaan tanah

7.Terjadi perubahan struktur sosial di pedesaan dan pola hubungan antarlapisan petani di desa dimana hubungan antar lapisan terpisah dan menjadi satuan sosial yang berlawanan kepentingan.

8.Memudarnya sistem kekerabatan dalam masyarakat yang awalnya menjadi pengikat hubungan antar lapisan.

9.Muncul kesenjangan ekonomi karena pengalihan hak milik atas tanah melalui jual beli.

10..Harga tanah yang tinggi tidak terjangkau oleh kemampuan ekonomi petani lapisan bawah sehingga petani kaya mempunyai peluang sangat besar untuk menambah luas tanah.

11.menyebabkan tingkat pendapatanpun akan berbeda.

12.Muncul kesenjangan yang terlihat dari perbedaan gaya bangunan maupun gaya berpakaian penduduk yang menjadi lambang identitas suatu lapisan sosial.

13.Mulai ada upaya para petani untuk beralih pekerjaan ke jenis yang lain seiring perkembagan teknologi.

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI

Perkembangan teknologi memberikan pengaruh positif bagi Indonesia khususnya bagi peningkatan industri pangan:

~Digunakannya pupuk buatan dan zat-zat kimia untuk memberantas hama penyakit sehingga produksi pertanianpun meningkat.

~Proses pengolahan lahanpun menjadi cepat dengan digunakan traktor

~Proses pengolahan hasil menjadi cepat dengan adanya alat penggiling padi

Adapun dampak negatif dari perkembangan teknologi tersebut adalah

~Timbulnya pencemaran pada air maupun tanah akibat penggunaan pestisida (pupuk kimia) yang berlebih. Sebab jika unsur nitrat maupun fosfat yang terkandung dalam pupuk dalam jumlah banyak masuk ke sungai akan menyebabkan pertumbuhan ganggang biru serta tanaman air lainnya yang menyebabkan pengeringan sungai karena banyaknya tumbuhan air (eutrofikasi).

~Penggunaan pestisida dapat membunuh hama tanaman, serangga pemakan hama, burung, ikan dan hewan lainnya. Bahkan dari unsur-unsur yang terkandung dalam pestisida dapat berubah menjadi senyawa yang membahayakan kehidupan.

~Pelaksanaan monokultur menyebabkan hubungan yang tidak seimbang antara tanah, hewan, dan tumbuh-tumbuhan sehingga kesimbangan alam akan terganggu yang menyebabkan berjangkitnya hama dan penyakit.

~Adanya sistem peladangan berpindah atau penebangan pohon dalam jumlah besar yang dilakukan oleh pihak pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) guna dibuat pemukiman baru menyebabkan kerusakan lingkungan kususnya pada ekosistem tanah.

~Semakin sempit lahan pertanian karena diubah menjadi wilayah pemukiman dan industri.

~Meningkatnya kegitan penggalian sumber alam, pertambangan liar yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan.

~Pengurangan jumlah tenaga kerja manusia yang terlibat dalam proses produksi karena telah tergantikan oleh mesin-mesin sehingga bersifat padat modal dan hemat tenaga kerja. Berdampak pada munculnya pengangguran.

INDUSTRIALISASI DI INDONESIA

Revolusi Hijau ini menyebabkan upaya untuk melakukan modernisasi yang berdampak pada perkembangan industrialisasi yang ditandai dengan adanya pemikiran ekonomi rasional.Pemikiran tersebut akan mengarah pada kapitalisme.Dengan industrialisasi juga merupakan proses budaya dimana dibagun masyarakat dari suatu pola hidup atau berbudaya agraris tradisional menuju masyarakat berpola hidup dan berbudaya masyarakat industri. Perkembangan industri tidak lepas dari proses perjalanan panjang penemuan di bidang teknologi yang mendorong berbagai perubahan dalam masyarakat.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan industrialisasi adalah :

- Meningkatkan perkembangan jaringan informasi, komunikasi, transportasi untuk memperlancar arus komunikasi antarwilayah di Nusantara.

- Mengembangkan industri pertanian

- Mengembangkan industri non pertanian terutama minyak dan gas bumi yang mengalami kemajuan pesat.

- Perkembangan industri perkapalan dengan dibangun galangan kapal di Surabaya yang dikelola olrh PT.PAL Indonesia.

- Pembangunan Industri Pesawat Terbang Nusantara(IPTN) yang kemudian berubah menjadi PT. Dirgantara Indonesia.

- Pembangunan kawasan industri di daerah Jakarta, Cilacap, Surabaya, Medan, dan Batam.

- Sejak tahun 1985 pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di bidang industri dan investasi.

Industrialisasi di Indonesia ditandai oleh :

Tercapainya efisiensi dan efektivitas kerja.

Banyaknya tenaga kerja terserap ke dalam sektor-sektor industri.
Terjadinya perubahan pola-pola perilaku yang lama menuju pola-pola perilaku yang baru yang bercirikan masyarakat industri modern diantaranya rasionalisasi.
Meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat di berbagai daerah khususnya di kawasan industri.

Menigkatnya kebutuhan masyarakat yang memanfaatkan hasil-hasil industri baik pangan, sandang, maupun alat-alat untuk mendukung pertanian dan sebagainya.

Dampak positif industrialisasi adalah tercapainya efisiensi dan efektifitas kerja.

Dampak negatif dari industrialisasi adalah Munculnya kesenjangan sosial dan ekonomi yang ditandai oleh kemiskinan serta Munculnya patologi sosial (penyakit sosial) seperti kenakalan remaja dan kriminalitas.

Kamis, 22 September 2011

PENGANTAR PENYAKIT TUMBUHAN


A. GEJALA PENYAKIT TUMBUHAN

Gejala penyakit tumbuhan sangat perlu diketahui untuk membedakan dengan gejala yang disebabkan oleh hama tumbuhan. Gejala penyakit tumbuhan timbul sebagai akibat masuknya pathogen ke dalam jaringan tumbuhan dan menyebabkan terjadinya infeksi sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pada sel atau jaringan tumbuhan.

Berdasarkan perubahan yang terjadi pada sel tumbuhan, gejala penyakit tumbuhan dibagi menjadi 3 tipe, yaitu :

1. NEKROTIK

Gejalannya disebut nekrosis yang meliputi gejala yang terjadi sebagai akibat rusak atau matinya sel sel tumbuhan

2. HIPOPLASTIS

Gejalanya disebut hipoplasia sebagai gejala yang terjadi sebagai akibat terhambatnya atau terhentinya perkembangan sel

3. HIPERPLASTIS

Gejalanya disebut hierplasia meliputi gejala akibat terjadinya perkembangan sel luar biasa.
Bila bertambah ukuran individu disebut HIPERTROFI dan bila bertambah jumlah sel disebut HIPERPLASIA.

• NEKROSIS

1. Hidrosis
Bagian tanaman nampak kebasah-basahan karena sebelum sel-sel mati, air keluar dari ruang sel masuk ke dalam ruang antar sel

2. Klorosis

Menguningnya bagian tanaman yag semula bewarna hijau karena rusaknya klorofil.

3. Nekrosis

Bercak dengan warna dan bentuk yang bermacam-macam sesuai dengan jenis penyakitnya karena matinya sekumpulan sel yang terbatas pada jaringan tertentu.

a. Blight

Gejalanya meluas dengan cepat

b. Spot

Gejala yang muncul kecil-kecil dan cenderung tidak meluas tapi bertambah banyak

c. Target-board spot

Bila yang terjadi pada daun terdiri dari alur-alur konsentris yang bewarna gelap dan terang.

d. Nekrosis

4. Perforasi

Terbentuknya lubang-lubang karena sel-sel yang telah mati runtuh.

5. Busuk

Gejalanya sama dengan gejala nekrosis tapi lebih sering terjadi pada jaringan tebal seperti akar, umbi, dan daun yang tebal.

a. Busuk Basah

Bila jaringan yang membususk menjadi berair dan mengandung cairan

b. Busuk Kering

Bila jaringan yang membususk tidak berair

6. Eksudasi

Terjadinya pengeluaran cairan dari suatu tumbuhan karena penyakit.

a. Gumosis

Pengeluaran gom (bledhok) dari tumbuhan
Ex : batang jeruk yg diserang Diplodia natalensis

b. Latekosis

Pengeluaran latek dari dalam tumbuhan
Ex : batang karet yang diserang jamur upas (Upasia salmonicolor)

c. Resinosis

Pengeluaran dammar (resin) dari dalam tumbuhan

7. Kanker

Kematian jaringan kulit tumbuhan berkayu. Jaringan kulit yang mati menjadi kering, berbatas tegas, mengendap, dan pecah-pecah kemudian runtuh hingga terlihat bagian kayunya.
Ex : bidang sadapan karet yang diserang jamur Phytopthora palmivora.

8. Layu

Gejala terjadi karena hilangnya turgor pada daun dan tunas karena gangguan pada jaringan pengangkutan atau akar, sehingga proses penguapan lebih besar dari ada pengangkutan air.
Ex : tanaman tomat yang diserang jamur Fusarium oxysporum

9. Mati ujung

Nekrosis yang disebabkan oleh matinya ranting atau cabang yang dimulai dari ujung meluas ke pangkal.
Ex : Tanaman jeruk yang diserang jamur Colletothricum sp

10. Terbakar

Nekrosisi yang disebabkan oleh mati atau mengeringnya bagian tumbuhan tertentu, lazimnya daun, yang disebabkan oleh factor abiotik.

HIPOPLASTIS

1. Etiolasi

Disebabkan karena tanaman kekurangan cahaya sehingga menjadi pucat, tumbuh memanjang, dan memunyai daun-daun yang sempit.

2. Kerdil

Ukuran tanaman menjadi lebih kecil dari biasanya yang disebabkan terjadinya hambatan pertumbuhan tanaman.
Ex : tanaman padi terserang tungro

3. Klorosis

Terjadi karena penghambatan pembentukan klorofil sehingga tanaman yang bewarna hijau menjadi bewarna kuning atau pucat dengan berbagai pola, yaitu :

a. Mozaik

Bagian yang bewarna kuning hanya setempat-setempat
Ex :Daun tembakau yang diserang Tobacco Mozaik Virus

b. Vein Banding

Bagian yang bewarna hijau hanya pada bagian sekitar tulang daun
Ex : penyakit CVPD pada jeruk

c. Vein Clearing

Bagian yang kuning hanya pada bagian sekitar tulang daun
Ex : Penyakit triteza pada jeruk

4. Perubahan simetri

Hambatan pertumbuhan pada bagian tertentu yang yidak disertai hambatan pertumbuhan pada bagian di depannya sehingga menyebabakan terjadinya penyimpangan bentuk.
Ex : Batang tebu yang diserang Fusarium moniliforme var. subglutinans

5. Roset

Gejala daun yang berdesakan membentuk suatu karangan karea hambatan pertumbuhan ruas-ruas batang tetapi pertumbuhan daunnya tidak terhambat.

• HIPERPLASTIS

1. Erinose

Gejala penyakit yang terjadi karena terbentuknay banyak trikoma sehingga bagian tanaman tersebut menyerupai beledu.
Ex : daun krotalaria yang diserang tungau

2. Fasiasi

Suatu organ yang harusnya tmbuh silindris dan lurus berubah menjadi pipih, lebar, dan membelok bahkan spiral.
Ex : ranting apel, batang karet muda

3. Intumesensia

Pembengkakan organ pada suatu tanaman yang disebabkan oleh sekumpulan sel pada daerah yang agak luas pada organ tersebut memanjang.
Ex: daun Cassia tomentosa

4. Kudis

Tumbuhan yang terserang mempunyai bercak kasar, berbatas dan agak menonjol, kadang pecah-pecah serta sel-sel di bagian tersebut berubah menjadi sel-sel gabus.
Ex : dijumpai pada buah, umbi, batang dan daun. Kentang yang terserang bakteri Streptomyces scabies

5. Menggulung

Disebabkan oleh pertumbuhan yang tidak seimbang pada bagian daun
Ex : daun tembakau yang diserang virus kerupuk

6. Pembentukan alat yang luar biasa

a. Antolisis

Perubahan bunga menjadi daun-daun yang kecil
Ex : tanaman jagung yang diserang virus kerupuk

b. Enasi

Pembentukan anak daun yang kecil pada sisi bawah tulang daun
Ex : daun tembakau yang diserang virus kerupuk

7. Prolepsis

Berkembangnya tunas-tunas tidur yang berada dekat di sisi bagian yang sakit menjadi tunas air,, yaitu tunas yang tumbuh mnjadi ranting-ranting segar yang tumbuh vertical dengan cepat.

8. Sapu

Berkembangnya tunas ketiak yang biasanya tidur menjadi seberkas ranting yang rapat. Biasanya disertai dengan terjadinya hambatan perkembangan ruas-ruas batang dan daun sehingga ranting yang rapat itu mempunyai ruas-ruas yang pendek dan daun yang kecil.
Ex : tanaman kacang yang diserang mikoplasma

9. Sesidium

Pembengkakan setempat pada jaringan tumbuhan sehingga terbentuk bintil-bintil. Bintil dapat berupa jaringan tumbuhan dan patogennya atau jaringan tumbuhan saja.

a. Fitosesidium

Bila penyebabnya tergolong dalam dunia tumbuhan
Ex : Damar yang diserang Aecidium sp

b. Zoosesidium

Bila penyebabnya tergolong dalam dunia binatang
Ex : tanaman tomat yang diserang Meloidogyne sp


Referensi :
Wibowo, Arif. 2002. Petunjuk Praktikum Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Yogyakarta : Gadjah Mada University

Sabtu, 17 September 2011

ALIH FUNGSI LAHAN


Defenisi Alih Fungsi


Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.


Fakta Alih Fungsi Lahan

Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian. Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan tersebut. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Menurut Irawan (2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996) menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) secara nasional, luas lahan sawah kurang lebih 7,8 juta Ha, dimana 4,2 juta Ha berupa sawah irigasi dan sisanya 3,6 juta Ha berupa sawah nonirigasi. Selama Pelita VI tidak kurang dari 61.000 Ha lahan sawah telah berubah menjadi penggunaan lahan Universitas Sumatera Utara nonpertanian. Luas lahan sawah tersebut telah beralih fungsi menjadi perumahan (30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi penggunaan tanah lain.

Penelitian yang dilakukan Irawan (2005) menunjukkan bahwa laju alih fungsi lahan di luar Jawa (132 ribu Ha per tahun) ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Pulau Jawa (56 ribu ha per tahun). Sebesar 58,68 persen alih fungsi lahan sawah tersebut ditujukan untuk kegiatan nonpertanian dan sisanya untuk kegiatan bukan sawah. Alih fungsi lahan sebagian besar untuk kegiatan pembangunan perumahan dan sarana publik.
Winoto (2005) mengemukakan bahwa lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh :

1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih inggi.

2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan.

3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya. Infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering

4. Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.

Fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah menjadi perhatian semua pihak. Penelitian yang dilakukan Winoto (2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 Ha sawah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Universitas Sumatera Utara Pulau Jawa. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan total lahan sawah beririgasi seluas 7,3 juta Ha dan hanya sekitar 4,2 juta Ha (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya sedang sisanya sekitar 3,01 juta HA (42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain.
Faktor-Faktor Terjadinya Alih Fungsi Lahan

Menurut Lestari (2009) proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:

1. Faktor Eksternal.

Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.

2. Faktor Internal.

Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.

3. Faktor Kebijakan.

Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada aspekregulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ilham, dkk (2003) diketahui faktor penyebab alih fungsi dari sisi eksternal dan internal petani, yakni tekanan ekonomi pada saat krisis ekonomi. Hal tersebut menyebabkan banyak petani Universitas Sumatera Utara menjual asetnya berupa sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berdampak meningkatkan alih fungsi lahan sawah dan makin meningkatkan penguasaan lahan pada pihak-pihak pemilik modal. Sawah tadah hujan paling banyak mengalami alih fungsi (319 ribu Ha) secara nasional. Lahan sawah di Jawa dengan berbagai jenis irigasi mengalami alih fungsi, masing-masing sawah tadah hujan 310 ribu Ha, sawah irigasi teknis 234 ribu Ha, sawah irigasi semi teknis 194 ribu Ha dan sawah irigasi sederhana 167 ribu Ha. Sementara itu di Luar Jawa alih fungsi hanya terjadi pada sawah beririgasi sederhana dan tadah hujan. Tingginya alih fungsi lahan sawah beririgasi di Jawa makin menguatkan indikasi bahwa kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah yang ada tidak efektif.

Menurut Wicaksono (2007), faktor lain penyebab alih fungsi lahan pertanian terutama ditentukan oleh :

1. Rendahnya nilai sewa tanah (land rent); lahan sawah yang berada disekitar pusat pembangunan dibandingkan dengan nilai sewa tanah untuk pemukiman dan industri.

2. Lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.

3. Semakin menonjolnya tujuan jangka pendek yaitu memperbesar pendapatan asli daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian (sustainability) sumberdaya alam di era otonom

Produksi padi secara nasional terus meningkat setiap tahun, tetapi dengan laju pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian karena pesatnya pembangunan dianggap sebagai salah satu penyebab utama melandainya pertumbuhan produksi padi (Bapeda, 2006). Universitas Sumatera Utara


Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah


Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian dapat berdampak terhadap turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih luas dimana berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmanto, dkk (2002), ditinjau dari aspek produksi, kerugian akibat alih fungsi lahan sawah di Jawa selama kurun waktu 18 tahun (1981-1998) diperkirakan telah menyebabkan hilangnya produksi beras sekitar 1,7 juta ton/tahun atau sebanding dengan jumlah impor beras tahun 1984-1997 yang berkisar antara 1,5- 2,5 juta ton/tahun.

Alih fungsi lahan sawah juga menyebabkan hilangnya kesempatan petani memperoleh pendapatan dari usahataninya. Dalam penelitian Rahmanto, dkk (2002) juga menyebutkan, hilangnya pendapatan dari usahatani sawah di Jawa Barat dan Jawa Timur mencapai Rp 1,5 - Rp 2 juta/Ha/tahun dan kehilangan kesempatan kerja mencapai kisaran 300 - 480 HOK/Ha/tahun. Perolehan pendapatan pengusaha traktor dan penggilingan padi juga ikut berkurang, masing-masing sebesar Rp 46 - Rp 91 ribu dan Rp 45 - Rp 114 ribu/Ha/tahun akibat terjadinya alih fungsi lahan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) terkonsentrasinya pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa, di satu sisi menambah terbukanya lapangan kerja di sektor nonpertanian seperti jasa konstruksi, dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan. Dampak negatif tersebut antara lain : Universitas Sumatera Utara

1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan dan timbulnya kerawanan pangan serta mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke nonpertanian. Apabila tenaga kerja tidak terserap seluruhnya akan meningkatkan angka pengangguran.

2. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya.

3. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri, sebagai dampak krisis ekonomi, atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh, sehingga meningkatkan luas tanah tidur yang pada gilirannya juga menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.

4. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak menunjukkan dampak positif.

Menurut Sudirja (2008) alih fungsi lahan pertanian bukan hanya sekedar memberi dampak negatif seperti mengurangi produksi beras, akan tetapi dapat pula membawa dampak positif terhadap ketersediaan lapangan kerja baru bagi sejumlah petani terutama buruh tani yang terkena oleh alih fungsi tersebut serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi.;

Menurut Irawan dan Friyatno (2005) proses alih fungsi lahan pertanian pada tingkat mikro dapat dilakukan oleh petani sendiri atau dilakukan pihak lain. Alih fungsi lahan yang dilakukan oleh pihak lain secara umum memiliki dampak yang lebih besar terhadap penurunan kapasitas produksi pangan karena proses alih Universitas Sumatera Utara fungsi lahan tersebut biasanya mencakup hamparan lahan yang cukup luas, terutama ditujukan untuk pembangunan kawasan perumahan. Alih fungsi lahan yang dilakukan oleh pihak lain tersebut biasanya berlangsung melalui pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain yang kemudian diikuti dengan, pemanfaatan lahan tersebut untuk kegiatan non pertanian. Dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap masalah pengadaan pangan pada dasarnya terjadi pada tahap kedua. Namun tahap kedua tersebut secara umum tidak akan terjadi tanpa melalui tahap pertama karena sebagian besar lahan pertanian dimiliki oleh petani. Oleh karena itu pengendalian pemanfaatan lahan untuk kepentingan pengadaan pangan pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu:

1. Mengendalikan pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain, dan
2. Mengendalikan dampak alih fungsi lahan tanaman pangan tersebut terhadap keseimbangan pengadaan pangan.

Rabu, 14 September 2011

KLASIFIKASI KEMAMPUAN LAHAN


Klasifikasi kemampuan lahan adalah klasifikasi lahan yang dilakukan dengan metode faktor penghambat. Dengan metode ini setiap kualitas lahan atau sifat-sifat lahan diurutkan dari yang terbaik sampai yang terburuk atau dari yang paling kecil hambatan atau ancamanya sampai yang terbesar. Kemudian disusun tabel kriteria untuk setiap kelas; penghambat yang terkecil untukkelas yang terbaik dan berurutan semakin besar hambatan semakin rendah kelasnya. Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak dipakai di Indonesia dikemukakan oleh Hockensmith dan Steele (1943). Menurut sistem ini lahan dikelompokan dalam tiga kategori umum yaitu Kelas, Subkelas dan Satuan Kemampuan (capability units) atau Satuan pengelompokan (management unit). Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Jadi kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas atau penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian yang umum (Sys et al., 1991). Tanah dikelompokan dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari Kelas I sampai kelas VIII, seperti pada Gambar 1.




Tanah pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan setahun), rumput untuk pakan ternak, padang rumput atau hutan. Tanah pada Kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohonan atau vegetasi alami. Dalam beberap hal tanah Kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam lahan Kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami. Untuk menerapkan dan menggunakan sistem klasifikasi ini secara benar setidaknya terdapat 14 asumsi yang perlu dimengerti.


Kelas Kemampuan Lahan



Kelas Kemampuan I


Lahan kelas kemampuan I mempunyai sedikit penghambat yang membatasi penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan pertanian, mulai dari tanaman semusim (dan tanaman pertanian pada umumnya), tanaman rumput, padang rumputm hutan produksi, dan cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas kemampuan I mempunyai salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas sebagai berikut: (1) terletak pada topografi datar (kemiringan lereng < 3%), (2) kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, (3) tidak mengalami erosi, (4) mempunyai kedalaman efektif yang dalam, (5) umumnya berdrainase baik, (6) mudah diolah, (7) kapasitas menahan air baik, (8) subur atau responsif terhadap pemupukan, (9) tidak terancam banjir, (10) di bawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman umumnya. Kelas Kemampuan II


Tanah-tanah dalam lahan kelas kemampuan II memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau mengakibatkannya memerlukan tindakan konservasi yang sedang. Lahan kelas II memerlukan pengelolaan yang hati-hati, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan atau memperbaiki hubungan air dan udara jika tanah diusahakan untuk pertanian tanaman semusim. Hambatan pada lahan kelas II sedikit, dan tindakan yang diperlukan mudah diterapkan. Tanah-tanah ini sesuai untuk penggunaan tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi dan cagar alam. Hambatan atau ancaman kerusakan pada lahan kelas II adalah salah satu atau kombinasi dari faktor berikut:

(1) lereng yang landai atau berombak (>3 % – 8 %),
(2) kepekaan erosi atau tingkat erosi sedang,
(3) kedalaman efetif sedang
(4) struktur tanah dan daya olah kurang baik,
(5) salinitas sedikit sampai sedang atau terdapat garam Natrium yang mudah dihilangkan akan tetapi besar kemungkinabn timbul kembali,
(6) kadang-kadang terkena banjir yang merusak,
(7) kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, akan tetapi tetap ada sebagai pembatas yang sedang tingkatannya, atau
(8) keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman atau pengelolannya.



Kelas Kemampuan III


Tanah-tanah dalam kelas III mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan pengunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Tanah-tanah dalam lahan kelas III mempunyai pembatas yang lebih berat dari tanah-tanah kelas II dan jika digunakan bagi tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tindakan konservasi yang diperlukan biasanya lebih sulit diterapkan dan dipelihara. Lahan kelas III dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka marga satwa. Hambatan yang terdapat pada tanah dalam lahan kelas III membatasi lama penggunaannya bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi pembatas-pembatas tersebut. Hambatan atau ancaman kerusakan mungkin disebabkan oleh salah satu atau beberapa hal berikut:

(1) lereng yang agak miring atau bergelombang (>8 – 15%),
(2) kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi atau telah mengalami erosi sedang,
(3) selama satu bulan setiap tahun dilanda banjir selama waktu lebih dari 24 jam, (4) lapisan bawah tanah yang permeabilitasnya agak cepat,
(5) kedalamannya dangkal terhadap batuan, lapisan padas keras (hardpan), lapisan padas rapuh (fragipan) atau lapisan liat padat (claypan) yang membatasi perakaran dan kapasitas simpanan air,
(6) terlalu basah atau masih terus jenuh air setelah didrainase,
(7) kapasitas menahan air rendah,
(8) salinitas atau kandungan natrium sedang,
(9) kerikil dan batuan di permukaan sedang, atau (1) hambatan iklim yang agak besar.



Kelas kemampuan IV

Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV lebih besar dari pada tanah-tanah di dalam kelas III, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas. Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi yang lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegatasi dan dam penghambat, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Tanah di dalam kelas IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian dan pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang penggembalaan, hutan lindung dan cagar alam. Hambatan atau ancaman kerusakan tanah-tanah di dalam kelas IV disebabkan oleh salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut:

(1) lereng yang miring atau berbukit (> 15% – 30%),
(2) kepekaan erosi yang sangat tinggi,
(3) pengaruh bekas erosi yang agak berat yang telah terjadi,
(4) tanahnya dangkal,
(5) kapasitas menahan air yang rendah,
(6) selama 2 sampai 5 bulan dalam setahun dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam,
(7) kelebihan air bebas dan ancaman penjenuhan atau penggenangan terus terjadi setelah didrainase (drainase buruk),
(8) terdapat banyak kerikil atau batuan di permukaan tanah,
(9) salinitas atau kandungan Natrium yang tinggi (pengaruhnya hebat), dan/atau (1) keadaan iklim yang kurang menguntungkan.



Kelas Kemampuan V

Tanah-tanah di dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilanghkan yang membatasi pilihan pengunaannya sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan cagar alam. Tanah-tanah di dalam kelas V mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman, dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-tanah ini terletak pada topografi datar tetapi tergenang air, selalu terlanda banjir, atau berbatu-batu (lebih dari 90 % permukaan tanah tertutup kerikil atau batuan) atau iklim yang kurang sesuai, atau mempunyai kombinasi hambatan tersebut. Contoh tanah kelas V adalah:

(1) tanah-tanah yang sering dilanda banjir sehingga sulit digunakan untuk penanaman tanaman semusim secara normal,
(2) tanah-tanah datar yang berada di bawah iklim yang tidak memungknlah produksi tanaman secara normal,
(3) tanah datar atau hampir datar yang > 90% permukaannya tertutup batuan atau kerikil, dan atau
(4) tanah-tanah yang tergenang yang tidak layak didrainase untuk tanaman semusim, tetapi dapat ditumbuhi rumput atau pohon-pohonan.



Kelas Kemampuan VI


Tanah-tanah dalam lahan kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk pengunaan pertanian. Penggunaannya terbatas untuk tanaman rumput atau padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau cagar alam. Tanah-tanah dalam lahan kelas VI mempunyai pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut:
(1) terletak pada lereng agak curam (>30% – 45%),
(2) telah tererosi berat, (3) kedalaman tanah sangat dangkal,
(4) mengandung garam laut atau Natrium (berpengaruh hebat),
(5) daerah perakaran sangat dangkal, atau
(6) iklim yang tidak sesuai. Tanah-tanah kelas VI yang terletak pada lereng agak curam jika digunakan untuk penggembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk menghindari erosi. Beberapa tanah di dalam lahan kelas VI yang daerah perakarannya dalam, tetapi terletak pada lereng agak curam dapat digunakan untuk tanaman semusim dengan tindakan konservasi yang berat seperti, pembuatan teras bangku yang baik.



Kelas Kemampuan VII


Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, Jika digunakan untuk padanag rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Tanah-tanah dalam lahan kelas VII yang dalam dan tidak peka erosi jika digunakan unuk tanaman pertaniah harus dibuat teras bangku yang ditunjang dengan cara-ceara vegetatif untuk konserbvasi tanah , disamping yindkan pemupukan. Tanah-tanah kelas VII mempunuaio bebetapa hambatan atyai ancaman kerusakan yang berat da tidak dapatdihiangkan seperti

(1) terletak pada lereng yang curam (>45 % – 65%), dan / atau
(2) telah tererosi sangat berat berupa erosi parit yang sulit diperbaiki.




Kelas kemampuan VIII


Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman kerusakan pada lahan kelas VIII dapat berupa:

(1) terletak pada lereng yuang sangat curam (>65%), atau
(2) berbatu atau kerikil (lebih dari 90% volume tanah terdiri dari batu atau kerikil atau lebih dari 90% permukaan lahan tertutup batuan), dan
(3) kapasitas menahan air sangat rendah. Contoh lahan kelas VIII adalah puncak gunung, tanah mati, batu terungkap, dan pantai pasir. Sumber: Sitanala Arsyad (2006). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.

Ikuti Saya ^___^

visitors

 

My Blog List

Feedjit

PLANT HOSPITAL Copyright © 2009 Flower Garden is Designed by Ipietoon for Tadpole's Notez Flower Image by Dapino