Selasa, 12 Januari 2016

PENGAMATAN PENGENDALIAN TIKUS SAWAH PADA PERTANAMAN PADI




A.  Tujuan
Mengetahui teknik pengendalian tikus sawah (Rattus argentiventer) pada pertanaman padi.

B.  Tinjauan Pustaka
          
Padi (bahasa latin: Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Meskipun terutama mengacu pada jenis tanaman budidaya, padi juga digunakan untuk mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut sebagai padi liar. Padi diduga berasal dari India atau Indocina dan masuk ke Indonesia dibawa oleh nenek moyang yang migrasi dari daratan Asia sekitar 1500 SM. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia (Priyambodo, 2002).
       
Hama dan penyakit adalah salah satu kendala program peningkatan produksi padi. Kendala peningkatan produksi akan semakin kompleks akibat perubahan iklim global. Hama dan penyakit padi merupakan salah satu cekaman biotik yang menyebabkan senjang hasil antara potensi hasil dan hasil aktual, dan juga menyebabkan produksi tidak stabil. Di Asia Tenggara hasil padi rata-rata 3,3 t/ha, padahal hasil yang bisa dicapai 5,6 t/ha. Senjang hasil tersebut disebabkan oleh penyakit sebesar 12,6% dan hama 15,2%. Di Indonesia, potensi hasil varietas padi yang dilepas berkisar antara 5-9 t/ha, sementara hasil nasional baru mencapai rata-rata 4,32 t/ha (Storer, 1979).
                 
   Dalam teknik budidaya tanaman padi, perlu dilakukan pengendalian terhadap hama yang menyerang tanaman padi, salah satunya adalah teknik pengendalian secara kimiawi. Pengendalian kimiawi yang dimaksudkan di sini adalah penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama agar hama tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman yang diusahakan. Pestisida mungkin merupakan bahan kimiawi yang dalam sejarah umat manusia telah memberikan banayak jasanya baik dalam bidang pertanian, kesehatan, pemukiman, dan kesejahteraan masyarakat yang lain. Berkat pesitisida manusia telah dapat dibebaskan dari ancaman berbagai penyakit yang membahayakan seperti malaria, DBD, dll. Berbagai jenis serangga vektor penyakit manusia yang berbahaya telah berhasil dikendalikan dengan pestisida. Pada mulanya produksi pertanian juga berhasil ditingkatkan karena pemakaian pestisida yang dapat menekan populasi hama dan kerusakan tanaman akibat serangan hama. Karena keberhasilan tersebut dunia pertanian pestisida seakan-akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budidaya segala jenis tanaman baik tanaman pangan maupun perkebunan. Meskipun pestisida memiliki banyak keuntungan seperti cepat menurunkan populasi hama, mudah penggunaannya dan secara ekonomik menguntungkan namun dampak negatif penggunaannya semakin lama semakin dirasakan oleh masyarakat. Dampak negatif pestisida yang merugikan kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup semakin lama semakin menonjol dan perlu memperoleh perhatian sungguh-sungguh dari masyarakat dan pemerintah (Mathys, 1975).
                  
    Tikus sawah digolongkan dalam kelas vertebrata (bertulang belakang), ordo rodentia (hewan pengerat), famili muridae, dan genus Rattus. Tubuh bagian dorsal/ punggung berwarna coklat kekuningan dengan bercak-bercak hitam di rambut-rambutnya, sehingga secara keseluruhan tampak berwarna abu-abu. Bagian ventral/perut berwarna putih keperakan atau putih keabu-abuan. Permukaan atas kaki seperti warna badan, sedangkan permukaan bawah dan ekornya berwarna coklat tua. Tikus betina memiliki 12 puting susu (6 pasang), dengan susunan 1 pasang pada pektoral, 2 pasang pada postaxial, 1 pasang pada abdomen, dan 2 pasang pada inguinal. Pada tikus muda/predewasa terdapat rumbai rambut berwarna jingga di bagian depan telinga. Ekor tikus sawah biasanya lebih pendek daripada panjang kepala-badan dan moncongnya berbentuk tumpul (Imam, 2012).

C.  Metodologi
             
     Praktikum Lapangan Vertebrata Hama Acara 3 ‘Pengamatan Pengendalian Tikus Sawah pada Pertanaman Padi’ dilaksanakan pada 3 Desember 2012 di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Praktikum kali ini dilaksanakan didampingi oleh asisten melakukan wawancara dengan petani di daerah lahan sawah tersebut. Alat yang digunakan adalah alat tulis dan kamera, serta bahan yaitu berupa pertanyaan yang ingin diajukan.
                
     Praktikan mencari narasumber seorang petani yang sedang melakukan kegiatan tani di skitar areal persawahan tempat tikus sawah menjadi hama penting di daerah tersebut. Hasil wawancara ditulis. Beberapa hal mengenai hasil wawancara didokumentasikaan dengan menggunakan kamera.



D.  Hasil Pengamatan dan Pembahasan

                 
     Tikus sawah merupakan hama prapanen utama penyebab kerusakan terbesar tanaman padi, terutama pada agroekosistem dataran rendah dengan pola tanam intensif. Tikus sawah merusak tanaman padi pada semua stadia pertumbuhan dari semai hingga panen (periode prapanen), bahkan di gudang penyimpanan (periode pascapanen). Kerusakan parah terjadi apabila tikus menyerang padi pada stadium generatif, karena tanaman sudah tidak mampu membentuk anakan baru. Ciri khas serangan tikus sawah adalah kerusakan tanaman dimulai dari tengah petak, kemudian meluas ke arah pinggir, sehingga pada keadaan serangan berat hanya menyisakan 1-2 baris padi di pinggir petakan.Tikus sawah mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi. Periode perkembang-biakan hanya terjadi pada saat tanaman padi periode generatif. Dalam satu musim tanam padi, tikus sawah mampu beranak hingga 3 kali dengan rata-rata 10 ekor anak per kelahiran. Tikus betina relatif cepat matang seksual (±1 bulan) dan lebih cepat daripada jantannya (±2-3 bulan). Cepat/lambatnya kematangan seksual tersebut tergantung dari ketersediaan pakan di lapangan. Masa kebuntingan tikus betina sekitar 21 hari dan mampu kawin kembali 24-48 jam setelah melahirkan (post partum oestrus). Terdapatnya padi yang belum dipanen (selisih hingga 2 minggu atau lebih) dan keberadaan ratun (Jawa : singgang) terbukti memperpanjang periode reproduksi tikus sawah. Dalam kondisi tersebut,anak tikus dari kelahiran pertama sudah mampu bereproduksi sehingga seekor tikus betina dapat menghasilkan total sebanyak 80 ekor tikus baru dalam satu musim tanam padi. Dengan kemampuan reproduksi tersebut, tikus sawah berpotensi meningkatkan populasinya dengan cepat jika daya dukung lingkungan memadai

            Tikus sawah bersarang pada lubang di tanah yang digalinya (terutama untuk reproduksi dan membesarkan anaknya) dan di semak-semak (refuge area/habitat pelarian). Sebagai hewan omnivora (pemakan segala), tikus mengkonsumsi apa saja yang dapat dimakan oleh manusia. Apabila makanan berlimpah, tikus sawah cenderung memilih pakan yang paling disukainya yaitu padi. Tikus menyerang padi pada malam hari. Pada siang harinya, tikus bersembunyi di dalam lubang pada tanggul-tanggul irigasi, jalan sawah, pematang, dan daerah perkampungan dekat sawah. Pada saat lahan bera, tikus sawah menginfestasi pemukiman penduduk dan gudang-gudang penyimpanan padi dan akan kembali lagi ke sawah setelah pertanaman padi menjelang generatif. Kehadiran tikus pada daerah persawahan dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan (run way), kotoran/feses, lubang aktif, dan gejala serangan.

Pengendalian tikus dilakukan dengan pendekatan PHTT (Pengendalian Hama Tikus Terpadu) yaitu pendekatan pengendalian yang didasarkan pada pemahaman biologi dan ekologi tikus, dilakukan secara dini, intensif dan terus menerus dengan memanfaatkan semua teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Kegiatan pengendalian tikus ditekankan pada awal musim tanam untuk menekan populasi awal tikus sejak awal pertanaman sebelum tikus memasuki masa reproduksi.    Kegiatan pengendalian yang sesuai dengan stadia pertumbuhan padi antara lain sbb. :

a.  TBS (Trap Barrier System) merupakan petak tanaman padi dengan ukuran minimal (20 x 20) m yang ditanam 3 minggu lebih awal dari tanaman di sekitarnya, dipagar dengan plastik setinggi 60 cm yang ditegakkan dengan ajir bambu pada setiap jarak 1 m, bubu perangkap dipasang pada setiap sisi dalam pagar plastik dengan lubang menghadap keluar dan jalan masuk tikus. Petak TBS dikelilingi parit dengan lebar 50 cm yang selalu terisi air untuk mencegah tikus menggali atau melubangi pagar plastik. Prinsip kerja TBS adalah menarik tikus dari lingkungan sawah di sekitarnya (hingga radius 200 m) karena tikus tertarik padi yang ditanam lebih awal dan bunting lebih dahulu, sehingga dapat mengurangi populasi tikus sepanjang pertanaman.

b.  LTBS merupakan bentangan pagar plastik sepanjang minimal 100 m, dilengkapi bubu perangkap pada kedua sisinya secara berselang-seling sehingga mampu menangkap tikus dari dua arah (habitat dan sawah). Pemasangan LTBS dilakukan di dekat habitat tikus seperti tepi kampung, sepanjang tanggul irigasi, dan tanggul jalan/pematang besar. LTBS juga efektif menangkap tikus migran, yaitu dengan memasang LTBS pada jalur migrasi yang dilalui tikus sehingga tikus dapat diarahkan masuk bubu perangkap.








DAFTAR PUSTAKA

Mathys, G. (ed.). 1975. Guide-lines for the Development and Biological Evaluation of  identicides. EPPO Bulletin Vol. 5, No. 1, Special Issue

Priyambodo, Swastiko. 2002. Diktat Kuliah Vertebrata Hama Non Tikus. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Storer, T.I. Usinger, R.L. Stebbins, R. C., and Nyabakken, J. W. 1979. General Zoology, Sixth edition. Mc Graw – Hill Book Co.

1 comments :

Bustomi Menggugat on Sabtu, Maret 26, 2016 5:10:00 PM mengatakan...

Good blog. Tematik. Dilanjutkan saja. Biar jadi rujukan bagi lainnya. #SalamAKUBISA

Posting Komentar

Ikuti Saya ^___^

visitors

 

My Blog List

Feedjit

PLANT HOSPITAL Copyright © 2009 Flower Garden is Designed by Ipietoon for Tadpole's Notez Flower Image by Dapino