A.
Status
Tikus sawah merupakan hama
prapanen utama penyebab kerusakan terbesar tanaman padi, terutama pada
agroekosistem dataran rendah dengan pola tanam intensif. Tikus sawah merusak
tanaman padi pada semua stadia pertumbuhan dari semai hingga panen (periode
prapanen), bahkan di gudang penyimpanan (periode pascapanen). Kerusakan parah
terjadi apabila tikus menyerang padi pada stadium generatif, karena tanaman
sudah tidak mampu membentuk anakan baru. Ciri khas serangan tikus sawah adalah
kerusakan tanaman dimulai dari tengah petak, kemudian meluas ke arah pinggir,
sehingga pada keadaan serangan berat hanya menyisakan 1-2 baris padi di pinggir
petakan.
B.
Biologi
dan Ekologi
Tikus
sawah digolongkan dalam kelas vertebrata (bertulang belakang), ordo rodentia
(hewan pengerat), famili muridae, dan genus Rattus. Tubuh bagian dorsal/
punggung berwarna coklat kekuningan dengan bercak-bercak hitam di
rambut-rambutnya, sehingga secara keseluruhan tampak berwarna abu-abu. Bagian
ventral/perut berwarna putih keperakan atau putih keabu-abuan. Permukaan atas
kaki seperti warna badan, sedangkan permukaan bawah dan ekornya berwarna coklat
tua. Tikus betina memiliki 12 puting susu (6 pasang), dengan susunan 1 pasang
pada pektoral, 2 pasang pada postaxial, 1 pasang pada abdomen, dan 2 pasang
pada inguinal. Pada tikus muda/predewasa terdapat rumbai rambut berwarna jingga
di bagian depan telinga. Ekor tikus sawah biasanya lebih pendek daripada
panjang kepala-badan dan moncongnya berbentuk tumpul.
Tikus
sawah mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi. Periode perkembang-biakan
hanya terjadi pada saat tanaman padi periode generatif. Dalam satu musim tanam
padi, tikus sawah mampu beranak hingga 3 kali dengan rata-rata 10 ekor anak per
kelahiran. Tikus betina relatif cepat matang seksual (±1 bulan) dan lebih cepat
daripada jantannya (±2-3 bulan). Cepat/lambatnya kematangan seksual tersebut
tergantung dari ketersediaan pakan di lapangan. Masa kebuntingan tikus betina
sekitar 21 hari dan mampu kawin kembali 24-48 jam setelah melahirkan (post
partum oestrus). Terdapatnya padi yang belum dipanen (selisih hingga 2 minggu
atau lebih) dan keberadaan ratun (Jawa : singgang) terbukti memperpanjang
periode reproduksi tikus sawah. Dalam kondisi tersebut,anak tikus dari
kelahiran pertama sudah mampu bereproduksi sehingga seekor tikus betina dapat
menghasilkan total sebanyak 80 ekor tikus baru dalam satu musim tanam padi.
Dengan kemampuan reproduksi tersebut, tikus sawah berpotensi meningkatkan
populasinya dengan cepat jika daya dukung lingkungan memadai.
Tikus sawah bersarang pada lubang di tanah
yang digalinya (terutama untuk reproduksi dan membesarkan anaknya) dan di
semak-semak (refuge area/habitat pelarian). Sebagai hewan omnivora (pemakan
segala), tikus mengkonsumsi apa saja yang dapat dimakan oleh manusia. Apabila
makanan berlimpah, tikus sawah cenderung memilih pakan yang paling disukainya
yaitu padi. Tikus menyerang padi pada malam hari. Pada siang harinya, tikus
bersembunyi di dalam lubang pada tanggul-tanggul irigasi, jalan sawah,
pematang, dan daerah perkampungan dekat sawah. Pada saat lahan bera, tikus
sawah menginfestasi pemukiman penduduk dan gudang-gudang penyimpanan padi dan
akan kembali lagi ke sawah setelah pertanaman padi menjelang generatif. Kehadiran
tikus pada daerah persawahan dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak
kaki (foot print), jalur jalan (run way), kotoran/feses, lubang aktif, dan
gejala serangan.
C.
Pengendalian
Pengendalian tikus dilakukan
dengan pendekatan PHTT (Pengendalian Hama Tikus Terpadu) yaitu pendekatan
pengendalian yang didasarkan pada pemahaman biologi dan ekologi tikus,
dilakukan secara dini, intensif dan terus menerus dengan memanfaatkan semua
teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Kegiatan pengendalian tikus
ditekankan pada awal musim tanam untuk menekan populasi awal tikus sejak awal
pertanaman sebelum tikus memasuki masa reproduksi. Kegiatan pengendalian yang sesuai dengan stadia
pertumbuhan padi antara lain sbb. :
TBS (Trap Barrier System) merupakan petak
tanaman padi dengan ukuran minimal (20 x 20) m yang ditanam 3 minggu lebih awal
dari tanaman di sekitarnya, dipagar dengan plastik setinggi 60 cm yang
ditegakkan dengan ajir bambu pada setiap jarak 1 m, bubu perangkap dipasang
pada setiap sisi dalam pagar plastik dengan lubang menghadap keluar dan jalan
masuk tikus. Petak TBS dikelilingi parit dengan lebar 50 cm yang selalu terisi
air untuk mencegah tikus menggali atau melubangi pagar plastik. Prinsip kerja
TBS adalah menarik tikus dari lingkungan sawah di sekitarnya (hingga radius 200
m) karena tikus tertarik padi yang ditanam lebih awal dan bunting lebih dahulu,
sehingga dapat mengurangi populasi tikus sepanjang pertanaman.
LTBS merupakan bentangan pagar
plastik sepanjang minimal 100 m, dilengkapi bubu perangkap pada kedua sisinya
secara berselang-seling sehingga mampu menangkap tikus dari dua arah (habitat
dan sawah). Pemasangan LTBS dilakukan di dekat habitat tikus seperti tepi
kampung, sepanjang tanggul irigasi, dan tanggul jalan/pematang besar. LTBS juga
efektif menangkap tikus migran, yaitu dengan memasang LTBS pada jalur migrasi
yang dilalui tikus sehingga tikus dapat diarahkan masuk bubu perangkap.
Fumigasi
paling efektif dilakukan pada saat tanaman padi stadia generatif. Pada periode
tersebut, sebagian besar tikus sawah sedang berada dalam lubang untuk
reproduksi. Metode tersebut terbukti efektif membunuh tikus beserta
anak-anaknya di dalam lubangnya. Rodentisida hanya digunakan apabila populasi
tikus sangat tinggi, dan hanya akan efektif digunkan pada periode bera dan
stadium padi awal vegetative
0 comments :
Posting Komentar