A.
Tujuan
Mengetahui
teknik pengendalian tikus sawah (Rattus
argentiventer) pada pertanaman padi.
B.
Tinjauan Pustaka
Padi
(bahasa latin: Oryza sativa L.)
merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Meskipun
terutama mengacu pada jenis tanaman budidaya, padi juga digunakan untuk mengacu
pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut sebagai
padi liar. Padi diduga berasal dari India atau Indocina dan masuk ke Indonesia
dibawa oleh nenek moyang yang migrasi dari daratan Asia sekitar 1500 SM. Produksi
padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia, setelah jagung dan
gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas
penduduk dunia (Priyambodo, 2002).
Hama
dan penyakit adalah salah satu kendala program peningkatan produksi padi.
Kendala peningkatan produksi akan semakin kompleks akibat perubahan iklim
global. Hama dan penyakit padi merupakan salah satu cekaman biotik yang
menyebabkan senjang hasil antara potensi hasil dan hasil aktual, dan juga
menyebabkan produksi tidak stabil. Di Asia Tenggara hasil padi rata-rata 3,3
t/ha, padahal hasil yang bisa dicapai 5,6 t/ha. Senjang hasil tersebut
disebabkan oleh penyakit sebesar 12,6% dan hama 15,2%. Di Indonesia, potensi
hasil varietas padi yang dilepas berkisar antara 5-9 t/ha, sementara hasil
nasional baru mencapai rata-rata 4,32 t/ha (Storer, 1979).
Dalam teknik budidaya tanaman
padi, perlu dilakukan pengendalian terhadap hama yang menyerang tanaman padi,
salah satunya adalah teknik pengendalian secara kimiawi. Pengendalian kimiawi
yang dimaksudkan di sini adalah penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama
agar hama tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman yang diusahakan. Pestisida
mungkin merupakan bahan kimiawi yang dalam sejarah umat manusia telah
memberikan banayak jasanya baik dalam bidang pertanian, kesehatan, pemukiman, dan
kesejahteraan masyarakat yang lain. Berkat pesitisida manusia telah dapat
dibebaskan dari ancaman berbagai penyakit yang membahayakan seperti malaria,
DBD, dll. Berbagai jenis serangga vektor penyakit manusia yang berbahaya telah
berhasil dikendalikan dengan pestisida. Pada mulanya produksi pertanian juga
berhasil ditingkatkan karena pemakaian pestisida yang dapat menekan populasi
hama dan kerusakan tanaman akibat serangan hama. Karena keberhasilan tersebut
dunia pertanian pestisida seakan-akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari budidaya segala jenis tanaman baik tanaman pangan maupun perkebunan.
Meskipun pestisida memiliki banyak keuntungan seperti cepat menurunkan populasi
hama, mudah penggunaannya dan secara ekonomik menguntungkan namun dampak
negatif penggunaannya semakin lama semakin dirasakan oleh masyarakat. Dampak
negatif pestisida yang merugikan kesehatan masyarakat dan kelestarian
lingkungan hidup semakin lama semakin menonjol dan perlu memperoleh perhatian
sungguh-sungguh dari masyarakat dan pemerintah (Mathys, 1975).
Tikus sawah digolongkan dalam
kelas vertebrata (bertulang belakang), ordo rodentia (hewan pengerat), famili
muridae, dan genus Rattus. Tubuh bagian dorsal/ punggung berwarna coklat
kekuningan dengan bercak-bercak hitam di rambut-rambutnya, sehingga secara
keseluruhan tampak berwarna abu-abu. Bagian ventral/perut berwarna putih
keperakan atau putih keabu-abuan. Permukaan atas kaki seperti warna badan,
sedangkan permukaan bawah dan ekornya berwarna coklat tua. Tikus betina
memiliki 12 puting susu (6 pasang), dengan susunan 1 pasang pada pektoral, 2
pasang pada postaxial, 1 pasang pada abdomen, dan 2 pasang pada inguinal. Pada
tikus muda/predewasa terdapat rumbai rambut berwarna jingga di bagian depan
telinga. Ekor tikus sawah biasanya lebih pendek daripada panjang kepala-badan
dan moncongnya berbentuk tumpul (Imam, 2012).
C.
Metodologi
Praktikum Lapangan Vertebrata
Hama Acara 3 ‘Pengamatan Pengendalian Tikus Sawah pada Pertanaman Padi’
dilaksanakan pada 3 Desember 2012 di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta. Praktikum kali ini dilaksanakan didampingi oleh asisten melakukan
wawancara dengan petani di daerah lahan sawah tersebut. Alat yang digunakan
adalah alat tulis dan kamera, serta bahan yaitu berupa pertanyaan yang ingin
diajukan.
Praktikan mencari narasumber
seorang petani yang sedang melakukan kegiatan tani di skitar areal persawahan
tempat tikus sawah menjadi hama penting di daerah tersebut. Hasil wawancara
ditulis. Beberapa hal mengenai hasil wawancara didokumentasikaan dengan
menggunakan kamera.
D. Hasil Pengamatan dan Pembahasan
Tikus sawah merupakan hama
prapanen utama penyebab kerusakan terbesar tanaman padi, terutama pada
agroekosistem dataran rendah dengan pola tanam intensif. Tikus sawah merusak
tanaman padi pada semua stadia pertumbuhan dari semai hingga panen (periode
prapanen), bahkan di gudang penyimpanan (periode pascapanen). Kerusakan parah
terjadi apabila tikus menyerang padi pada stadium generatif, karena tanaman
sudah tidak mampu membentuk anakan baru. Ciri khas serangan tikus sawah adalah
kerusakan tanaman dimulai dari tengah petak, kemudian meluas ke arah pinggir,
sehingga pada keadaan serangan berat hanya menyisakan 1-2 baris padi di pinggir
petakan.Tikus sawah mempunyai kemampuan
reproduksi yang tinggi. Periode perkembang-biakan hanya terjadi pada saat
tanaman padi periode generatif. Dalam satu musim tanam padi, tikus sawah mampu
beranak hingga 3 kali dengan rata-rata 10 ekor anak per kelahiran. Tikus betina
relatif cepat matang seksual (±1 bulan) dan lebih cepat daripada jantannya
(±2-3 bulan). Cepat/lambatnya kematangan seksual tersebut tergantung dari
ketersediaan pakan di lapangan. Masa kebuntingan tikus betina sekitar 21 hari
dan mampu kawin kembali 24-48 jam setelah melahirkan (post partum oestrus).
Terdapatnya padi yang belum dipanen (selisih hingga 2 minggu atau lebih) dan
keberadaan ratun (Jawa : singgang) terbukti memperpanjang periode reproduksi
tikus sawah. Dalam kondisi tersebut,anak tikus dari kelahiran pertama sudah
mampu bereproduksi sehingga seekor tikus betina dapat menghasilkan total
sebanyak 80 ekor tikus baru dalam satu musim tanam padi. Dengan kemampuan
reproduksi tersebut, tikus sawah berpotensi meningkatkan populasinya dengan
cepat jika daya dukung lingkungan memadai
Tikus sawah bersarang pada lubang di tanah
yang digalinya (terutama untuk reproduksi dan membesarkan anaknya) dan di
semak-semak (refuge area/habitat pelarian). Sebagai hewan omnivora (pemakan
segala), tikus mengkonsumsi apa saja yang dapat dimakan oleh manusia. Apabila
makanan berlimpah, tikus sawah cenderung memilih pakan yang paling disukainya
yaitu padi. Tikus menyerang padi pada malam hari. Pada siang harinya, tikus
bersembunyi di dalam lubang pada tanggul-tanggul irigasi, jalan sawah,
pematang, dan daerah perkampungan dekat sawah. Pada saat lahan bera, tikus
sawah menginfestasi pemukiman penduduk dan gudang-gudang penyimpanan padi dan
akan kembali lagi ke sawah setelah pertanaman padi menjelang generatif. Kehadiran
tikus pada daerah persawahan dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak
kaki (foot print), jalur jalan (run way),
kotoran/feses, lubang aktif, dan gejala serangan.
Pengendalian
tikus dilakukan dengan pendekatan PHTT (Pengendalian Hama Tikus Terpadu) yaitu
pendekatan pengendalian yang didasarkan pada pemahaman biologi dan ekologi
tikus, dilakukan secara dini, intensif dan terus menerus dengan memanfaatkan
semua teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Kegiatan pengendalian
tikus ditekankan pada awal musim tanam untuk menekan populasi awal tikus sejak
awal pertanaman sebelum tikus memasuki masa reproduksi. Kegiatan pengendalian yang sesuai dengan stadia pertumbuhan padi
antara lain sbb. :
a.
TBS (Trap Barrier System)
merupakan petak tanaman padi dengan ukuran minimal (20 x 20) m yang ditanam 3
minggu lebih awal dari tanaman di sekitarnya, dipagar dengan plastik setinggi
60 cm yang ditegakkan dengan ajir bambu pada setiap jarak 1 m, bubu perangkap
dipasang pada setiap sisi dalam pagar plastik dengan lubang menghadap keluar
dan jalan masuk tikus. Petak TBS dikelilingi parit dengan lebar 50 cm yang
selalu terisi air untuk mencegah tikus menggali atau melubangi pagar plastik.
Prinsip kerja TBS adalah menarik tikus dari lingkungan sawah di sekitarnya
(hingga radius 200 m) karena tikus tertarik padi yang ditanam lebih awal dan
bunting lebih dahulu, sehingga dapat mengurangi populasi tikus sepanjang
pertanaman.
b.
LTBS merupakan bentangan pagar plastik sepanjang minimal 100 m,
dilengkapi bubu perangkap pada kedua sisinya secara berselang-seling sehingga
mampu menangkap tikus dari dua arah (habitat dan sawah). Pemasangan LTBS
dilakukan di dekat habitat tikus seperti tepi kampung, sepanjang tanggul
irigasi, dan tanggul jalan/pematang besar. LTBS juga efektif menangkap tikus
migran, yaitu dengan memasang LTBS pada jalur migrasi yang dilalui tikus
sehingga tikus dapat diarahkan masuk bubu perangkap.
DAFTAR PUSTAKA
Mathys, G. (ed.). 1975. Guide-lines for the
Development and Biological Evaluation of identicides.
EPPO Bulletin Vol. 5, No. 1, Special Issue
Priyambodo, Swastiko. 2002. Diktat Kuliah Vertebrata
Hama Non Tikus. Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Storer, T.I. Usinger, R.L. Stebbins, R. C., and
Nyabakken, J. W. 1979. General Zoology, Sixth edition.
Mc Graw – Hill Book Co.
1 comments :
Good blog. Tematik. Dilanjutkan saja. Biar jadi rujukan bagi lainnya. #SalamAKUBISA
Posting Komentar