PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH PESTISIDA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencemaran
lingkungan yang terjadi saat ini kebanyakan disebabkan oleh penggunaan bahan
kimia yang berlebihan. Dari sector pertanian sendiri penggunaan bahan kimia
yang dapat merusak lingkungan adalah penggunaan pestisida. Hampir semua
pertanian yang ada saat ini menggunakan bahan kimia, baik pestisida maupun
pupuk kimia.
Pestisida sendiri merupakan bahan
kimia yang dapat menurunkan OPT (Organisme pengganggu Tumbuhan), namun
sayangnya terkadang petani menggunakan pestisida berlebihan yang nantinya akan
berdampak pada pencemaran ligkungan. Untuk mengurangi kerusakan lingkungan dan
gangguan kesehatan sebaiknya memperhatikan Informasi yang terperinci tentang
tingkat keracunan, keberadaan dalam tanah, jalan pengangkutan yang lebih
dominan dari berbagai herbisida, insektisida dan fungisida hendaknya diketahui.
Kondisi cuaca penting diperhatikan pada saat pengaplikasian.
B.
Tinjauan Pustaka
Pestisida secara umum digolongkan kepada jenis organisme
yang akan dikendalikan populasinya. Insektisida, herbisida, fungsida dan
nematosida digunakan untuk mengendalikan hama, gulma, jamur tanaman yang
patogen dan nematoda. Jenis pestisida yang lain digunakan untuk mengendalikan
hama dari tikus dan siput (Alexander, 1977).
Dalam bidang pertanian pestisida merupakan sarana untuk
membunuh jasad pengganggu tanaman. Dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu,
pestisida berperan sebagai salah satu komponen pengendalian,yang mana harus
sejalan dengan komponen pengendalian hayati, efisien untuk mengendalikan hama
tertentu, mudah terurai dan aman bagilingkungan sekitarnya. Penerapan usaha
intensifikasi pertanian yang menerapkan berbagai teknologi, seperti penggunaan
pupuk, varietas unggul, perbaikan pengairan, pola tanam serta usaha pembukaan
lahan baru akan membawa perubahan pada ekosistem yang sering kali diikuti
dengan timbulnya masalah serangan jasad penganggu. Cara lain untuk mengatasi
jasad penganggu selain menggunakan pestisida kadang-kadang memerlukan waktu,
biaya dan tenaga yang besar dan hanya dapat dilakukan pada kondisi tertentu.
Sampai saat ini hanya pestisida yang mampu melawan jasad penganggu dan berperan
besar dalam menyelamatkan kehilangan hasil (Sudarmo, 1991).
Dalam penerapan di bidang pertanian, ternyata tidak semua
pestisida mengenai sasaran. Kurang lebih hanya 20 persen pestisida mengenai
sasaran sedangkan 80 persen lainnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu pestisida
tersebut mengakibatkan pencemaran lahan pertanian. Apabila masuk ke dalam
rantai makanan, sifat beracun bahan pestisida dapat menimbulkan berbagai
penyakit seperti kanker, mutasi, bayi lahir cacat, CAIDS (Chemically Acquired
Deficiency Syndrom) dan sebagainya (Sa’id, 1994).
Setiap kemasan dari bahan-bahan kimia pertanian harus
dilengkapi/menggunakan keterangan perlindungan bagi keamanan pengguna. Jenis
dan tingkat perlindungan berbeda tergantung pada tingkat keracunan dari
masing-masing bahan kimia pertanian. Penyimpanan yang tepat dari bahan-bahan
kimia pertanian dan keterangan mengenai pelepasan dari bahan kimia pertanian ke
lingkungan termasuk tingkat yang dapat meracuni dan digambarkan pada label dari
kemasan tersebut. Dengan memperhatikan keterangan-keterangan ini, keamanan para
pengguna, keamanan dari pangan, keamanan dari konsumen pangan dan keamanan
lingkungan dapat diwujudkan (Uehara, 1993).
II. ISI
Lingkungan merupakan kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup (organisme ). Lingkungan
dapat terceamar, pencemaran lingkungan dapat terjadi secara alami maupun
buatan. Contoh pencemaran buatan antara lain limbah baik pabrik maupun rumah
tangga, serta bahan kimia berbahaya antara lain pestisida. Besar kecilnya
pencemaran lingkungan khusunya oleh pestisida ditentuka berdasarkan faktor
toksisitas, lama pemaparan, konsentrasi dan volume.
Batasan pencemaran
menurut UU No. 4 Tahun 1982, menjelaskan bahwa “Pencemaran” adalah masuknya
atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energy dan atau komponen lain kedalam
lingkungan dan atau merubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau
proses alam, sehingga kwalitas lingkungan turun sampai tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan menmjadi kurang atau tidak dabat berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukannya.
Pencemaran suatu lingkungan bisanya melalui tahap-tahap
yaitu:
1.
Tingkatan Pertama
Bila zat pencemar tersebut baik
jumlah dan waktu aktifnya tidak membawa akibat yang merugikan manusia.
2.
Tingkatan ke-2
Bila zat pencemar sudah
mengakibatkan gangguan pada alat- alat panca indera dan alat perkembangbiakan
secara vegetatif serta kerusakan lingkungan hidup yang lebih luas.
3.
Tingkatan ke- 3
Bila zat pencemar sudah
mengakibatkan gangguan fisiologis yang membawa akibat kesakitan yang menahun.
4.
Tingkatan ke- 4
Bila zat pencemar sudah
mengakibatkan gangguan-ganguan yang gawat seperti kematian dan lain-lain.
Peningkatan kegiatan pertanian yang
bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian juga membawa dampak buruk,
salah satunya adalah pencemaran lingkungan yang dtimbulkan akibat penggunaan
pestisida. Menurut Sa’id (1994) Pestisida yang paling banyak menyebabkan
kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan manusia adalah pestisida sintetik,
yaitu golongan organoklorin. Tingkat kerusakan yang disebabkan oleh senyawa
organoklorin lebih tinggi dibandingkan senyawa lain, karena senyawa ini peka
terhadap sinar matahari dan tidak mudah terurai.
Pestisida yang digunakan terus
menerus dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia,
pencemaran pestisida meliputi pencemaran air, tanah, bahkan udara.
1. Pencemaran
air
Residu masuk air sungai, mengalir ke parit-parit sawah,
masuk ke saluran tersier ke saluran sekunder dan terbuang ke sungai kita.
Sungai mengalir masuk kota, menuju ke hilir dan sebagian rakyat menggunakan air
di hilir untuk mandi, cuci dan kakus. Pencemaran bertambah runyam, karena
pestisida, sampah rumah tangga dan produk alami.
2. Pencemaran
tanah
Sebagian besar pestisida akan jatuh ketanah, bahkan ada
yang memang diaplikasikan kedalam tanah. Sebagian residu ada yang terbawa
aliran air tanah, namun tidak sedikit pula yang mengendap dalam partikel tanah.
Hal ini dapat membuat mikroorganisme dalam tanah yang tidak berbahaya juga ikut
mati. Selain itu tanah menjadi tidak subur, sehingga tanaman tidak akan tumbuh
dengan baik.
3. Pencemaran
udara
Penyemprotan pestisida dengan menggunakan helikopter telah
menggeser pemakaian tenaga manusia yang dirasakan tidak efektif. Dengan
helikopter, dalam waktu sekejap berpuluh-puluh hektar ladang bahan pangan telah
tersemprot sekaligus. Tapi daerah-daerah yang bukan sasaran maupun hewan-hewan
dan serangga bukan sasaran target pembunuhan ikut menikmati hujan pestisida
dari cucuran helikopter.
IV. STUDI KASUS
DDT adalah insektisida
organoklorin, mirip dalam struktur ke dicofol dan pestisida methoxychlor. DDT
bersifat sangat hidrophobik, yang dihasilkan oleh reaksi dari khloral (CCl3CHO)
dengan chlorobenzene (C6H5Cl) dan asam sulfur, yang
bertindak sebagai katalisator. DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane) merupakan pestisida sintetis yang merupakan bahan kimia yang panjang, unik, dan mempunyai sejarah yang kontroversial.
Pada tahun 1962
Rachel Carson dalam bukunya yang terkenal, Silent Spring, menjuluki DDT sebagai obat yang membawa kematian
bagi kehidupan di bumi. Demikian berbahayanya DDT bagi kehidupan di bumi
sehingga atas rekomendasi EPA (Environmental Protection Agency) Amerika
Serikat pada tahun 1972 DDT dilarang digunakan terhitung 1 Januari 1973.
Pengaruh buruk DDT terhadap lingkungan sudah mulai tampak sejak awal
penggunaannya pada tahun 1940-an, dengan menurunnya populasi burung elang
sampai hampir punah di Amerika Serikat. Dari pengamatan ternyata elang
terkontaminasi DDT dari makanannya (terutama ikan sebagai mangsanya) yang
tercemar DDT. DDT menyebabkan cangkang telur elang menjadi sangat rapuh
sehingga rusak jika dieram. Dari segi bahayanya, oleh EPA DDT digolongkan dalam
bahan racun PBT (persistent, bioaccumulative, and toxic) material.
Dua
sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup
adalah:
- Sifat apolar DDT: DDT tidak larut dalam air
tapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida dalam lemak
(semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini merupakan
salah satu faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit
- Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten. DDT
sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan hidup, masuk
rantai makanan (foodchain) melalui bahan lemak jaringan
mahluk hidup. Itu sebabnya DDT bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif.
Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di
dalam tanah; bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel
tanah.
Dalam
ilmu lingkungan DDT termasuk dalam urutan ke-3 dari polutan organik yang
persisten (Persistent Organic Pollutants, POP), yang memiliki
sifat-sifat berikut:
- tidak terdegradasi melalui fotolisis, biologis
maupun secara kimia,
- berhalogen (biasanya klor),
- daya larut dalam air sangat rendah,
- sangat larut dalam lemak,
- semivolatile,
- di udara dapat dipindahkan oleh angin melalui
jarak jauh,
- bioakumulatif,
- biomagnifikatif (toksisitas meningkat
sepanjang rantai makanan)
Di
Amerika Serikat, DDT masih terdapat dalam tanah, air dan udara. Kandungan DDT
dalam tanah berkisar sekitar 0.18 sampai 5.86 parts per million (ppm),
sedangkan sampel udara menunjukkan kandungan DDT 0.00001 sampai 1.56
microgram per meter kubik udara (ug/m3), dan di perairan (danau) kandungan DDT
dan DDE pada taraf 0.001 microgram per liter (ug/L).
Gejala
keracunan akut pada manusia adalah paraestesia, tremor, sakit kepala, keletihan
dan muntah. Efek keracunan kronis DDT adalah kerusakan sel-sel hati, ginjal,
sistem saraf, sistem imunitas dan sistem reproduksi. Efek keracunan kronis pada
unggas sangat jelas antara lain terjadinya penipisan cangkang telur dan
demaskulinisasi.
Sejak
tidak digunakan lagi (1973) kandungan DDT dalam tanaman semakin menurun. Pada
tahun 1981 rata-rata DDT dalam bahan makanan yang termakan oleh manusia
adalah 32-6 mg/kg/hari, terbanyak dari umbi-umbian dan dedaunan. DDT ditemukan
juga dalam daging, ikan dan unggas.
Walaupun
di negara-negara maju (khususnya di Amerika Utara dan Eropah Barat) penggunaan
DDT telah dilarang, di negara-negara berkembang terutama India, RRC dan
negara-negara Afrika dan Amerika Selatan, DDT masih digunakan. Banyak negara
telah melarang penggunaan DDT kecuali dalam keadaan darurat terutama jika
muncul wabah penyakit seperti malaria, demam berdarah dsb. Departeman Pertanian
RI telah melarang penggunaan DDT di bidang pertanian sedangkan larangan
penggunaan DDT di bidang kesehatan dilakukan pada tahun 1995. Komisi
Pestisida RI juga sudah tidak memberi perijinan bagi pengunaan pestisida
golongan hidrokarbon-berklor (chlorinated hydrocarbons) atau
organoklorin (golongan insektisida di mana DDT termasuk).
Walaupun
secara undang-undang telah dilarang, disinyalir DDT masih juga secara gelap
digunakan karena keefektifannya dalam membunuh hama serangga. Demikian pula,
banyaknya DDT yang masih tersimpan yang perlu dibinasakan tanpa membahayakan
ekosistem manusia maupun kehidupan pada umumnya merupakan permasalahan bagi
kita. Sebenarnya, bukan saja DDT yang memiliki daya racun serta persistensi
yang demikian lamanya dapat bertahan di lingkungan hidup. Racun-racun POP
lainnya yang juga perlu diwaspadai karena mungkin saja terdapat di tanah, udara
maupun perairan di sekitar kita adalah aldrin, chlordane, dieldrin,
endrin, heptachlor, mirex, toxaphene, hexachlorobenzene, PCB (polychlorinated
biphenyls), dioxins dan furans.
Untuk
mengeliminasi bahan racun biasanya berbagai cara dapat digunakan seperti secara
termal, biologis atau kimia/fisik. Untuk Indonesia dipertimbangkan untuk
mengadopsi cara stabilisasi/fiksasi karena dengan cara termal seperti
insinerasi memerlukan biaya sangat tinggi. Prinsip stabilisasi/fiksasi adalah
membuat racun tidak aktif/imobilisasi dengan enkapsulasi mikro dan makro
sehingga DDT menjadi berkurang daya larutnya. Namun permasalahan tetap
masih ada karena DDT yang telah di-imobilisasi ini masih harus dibuang sebagai landfill di
tempat yang aman. Namun dengan cara ini potensi racun DDT masih tetap bertahan
untuk waktu yang lama pada abad 21 ini.
Pada
bulan Juli 1998, perwakilan dari 120 negara bertemu untuk membahas suatu pakta
Persatuan Bangsa Bangsa untuk melarang penggunaan DDT sebagai insektisida dan
11 bahan kimia lainnya secara global pada tahun 2000. Amerika Serikat dan
negara-negara industri lain menyetujui pelarangan ini karena bahan-bahan kimia
ini adalah senyawa kimia yang persisten dimana senyawa-senyawa ini dapat
terakumulasi dan merusak ekosistem alami dan memasuki rantai makanan manusia.
Namun banyak negara tidak setuju dengan pelarangan DDT secara global karena DDT
digunakan untuk mengkontrol nyamuk penyebab malaria. Malaria timbul di 90
negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan merupakan penyebab kematian
dalam jumlah besar terutama daerah ekuatorial Afrika.
Organisasi
Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa 2.5 juta orang tewas setiap tahun akibat
malaria dan ini kian terjadi di berbagai belahan dunia. Namun karena DDT begitu
efektif dalam mengontrol nyamuk penyebab malaria, banyak ahli berpikir bahwa
insektisida menyelamatkan lebih banyak jiwa dibandingkan bahan kimia lainnya.
DDT
diproduksi secara massal pada tahun 1939, setelah seorang kimiawan bernama Paul
Herman Moller menemukan dengan dosis kecil dari DDT maka hampir semua jenis
serangga dapat dibunuh dengan cara mengganggu sistem saraf mereka. Pada waktu
itu, DDT dianggap sebagai alternatif murah dan aman sebagai jenis insektisida
bila dibandingkan dengan senyawa insektisida lainnya yang berbasis arsenik dan
raksa. Sayangnya, tidak seorangpun yang menyadari kerusakan lingkungan yang
meluas akibat pemakaian DDT.
Sebagai
suatu senyawa kimia yang persisten, DDT tidak mudah terdegradasi menjadi
senyawa yang lebih sederhana. Ketika DDT memasuki rantai makanan, ini memiliki
waktu paruh hingga delapan tahun, yang berarti setengah dari dosis DDT yang
terkonsumsi baru akan terdegradasi setelah delapan tahun. Ketika tercerna oleh
hewan, DDT akan terakumulasi dalam jaringan lemak dan dalam hati. Karena
konsentrasi DDT meningkat saat ia bergerak ke atas dalam rantai makanan, hewan
predator lah yang mengalami ancaman paling berbahaya. Populasi dari bald eagle
dan elang peregrine menurun drastis karena DDT menyebabkan mereka menghasilkan
telur dengan cangkang yang tipis dimana telur ini tidak akan bertahan pada masa
inkubasi. Singa laut di lepas pantai California akan mengalami keguguran janin setelah
memakan ikan yang terkontaminasi.
Para
peneliti lingkungan dan pakar wabah penyakit mulai mengamati serius dampak
unsur pengganggu itu sejak tiga dekade lalu. Mula-mula diketahui, racun
pembunuh serangga yang amat ampuh dan digunakan secara luas membasmi nyamuk
malaria, yakni DDT (dichloro diphenytrichloroethane) memiliki dampak sampingan
amat merugikan. DDT memiliki sifat larut dalam lemak. Karena itu, residunya
terus terbawa dalam rantai makanan, dan menumpuk dalam jaringan lemak. Dari
situ, sisa DDT mengalir melalui air susu ibu kepada anaknya, baik pada manusia
maupun pada binatang. Binatang pemangsa mendapat timbunan sisa DDT dari
binatang makanannya. Rantainya seolah tidak bisa diputus.
Pengamatan
terhadap burung pemangsa menunjukkan, DDT menyebabkan banyak burung yang
memproduksi telur dengan kulit amat tipis, sehingga mudah pecah. Selain itu,
terlepas dari tebal tipisnya kulit telur, semakin banyak anak burung pemangsa
yang lahir cacat. Penyebaran residu DDT bahkan diamati sampai ke kawasan kutub
utara dan selatan. Anjing laut di kutub utara, banyak yang melahirkan anak yang
cacat, atau mati pada saat dilahirkan. Penyebabnya pencemaran racun serangga
jenis DDT.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar. 2010. Dampak DDT terhadap Lingkungan. <lessonabrar.wordpress.com>.
Diakses Tanggal 15 Januari 2012.
Alexander, M., 1977. Soil
Microbiology, Second Edition. John Wiley & Sons, Ind., New York.
Sa’id, E.G., 1994. Dampak
Negatif Pestisida, Sebuah Catatan bagi Kita Semua. Agrotek. Vol. 2(1). IPB, Bogor.
Sudarmo, S., 1991. Pestisida.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Uehara, K., 1996. The Present
State of Plant Protection in Japan-Safety Countermeasures for Agriculture
Chemicals. Japan Pesticide Information. Japan Plant Protection Association,
Tokyo. Japan.
0 comments :
Posting Komentar