Kamis, 06 Februari 2014

BIOEKOLOGI DAN FAKTOR PENYEBARAN HAMA PASCA PANEN


Ekologi serangga mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi dan kelimpahan serangga. Pengetahuan tentang ekologi serangga hama pascapanen merupakan dasar penerapan pengendalian hama terpadu (PHT). Saat ini, pemodelan dengan komputer untuk pengendalian hama pascapanen telah banyak dikembangkan. Kesemuanya berbasis pada pengetahuan ekologi serangga. 

Sifat struktur penyimpanan secara umum adalah kondisinya yang stabil dibandingkan lingkungan alami dan ketersediaan pangan yang melimpah. Karakter penyimpanan ini menguntungkan hama gudang, walaupun adakalanya terjadi kelangkaan sumber makanan. Serangga hama di penyimpanan, terutama hama-hama penting adalah serangga yang telah teradaptasi pada lingkungan penyimpanan dengan baik, karena: 

· Habitat penyimpanan merupakan reservoir alaminya               
· Toleransinya yang tinggi terhadap faktor fisik di penyimpanan
· Keragaman perilaku makan pada berbagai bahan simpan
· Laju reproduksi yang tinggi
· Kemampuan yang tinggi dalam menemukan lokasi sumber makanan 
· Kemampuan bertahan hidup dalam kondisi tanpa pangan
· Adaptasi morfologi (ukuran kecil, bentuk pipih, gerakan cepat dll.)

Studi ekologi yang dilakukan pada kondisi yang mirip dengan tempat penyimpanan lebih berguna untuk mengembangkan program pengendalian. Dengan demikian dapat diperoleh lebih banyak gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi dan kelimpahan hama pada kondisi nyata. 


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEBARAN DAN KELIMPAHAN HAMA GUDANG

1. SUHU, KADAR AIR BIJI DAN SUMBER MAKANAN

Masa perkembangan, ketahanan hidup dan produksi telur serangga hama pascapanen tergantung pada kesesuaian lingkungan dan makanan. Laju populasi serangga dapat meningkat sebagai hasil dari masa perkembangan yang singkat, ketahanan hidup yang meningkat atau produksi telur yang lebih banyak. Dalam kondisi normal, gudang adalah sumber makanan sehingga permasalahan utama bagi serangga adalah suhu dan kadar air/kelembaban. Walaupun demikian, sebagian besar serangga hama pascapanen dapat hidup pada berbagai bahan simpan dan terdapat variasi kelimpahan serangga pada tiap-tiap bahan simpan

Masa perkembangan

Suhu lingkungan dan kadar air bahan simpan merupakan faktor utama yang mempengaruhi masa perkembangan. Pada coleoptera, kadar air lebih dominan pengaruhnya dibanding suhu dan makanan, demikian pula pada lepidoptera. 

Lepidoptera pascapanen menghabiskan sebagian besar masa perkembangannya sebagai larva. Stadium larva lepidoptera pascapanen lebih lama daripada larva coleoptera karena nutrisinya digunakan untuk produksi telur. Imago lepidoptera sendiri berumur pendek dan tidak makan. Coleoptera berumur panjang (Cryptolestes, Oryzaephilus, Sitophilus, Tribolium, Rhyzopertha) makan selama periode imago, karena itu dapat memproduksi telur selama hidupnya. Seperti lepidoptera, stadium larva coleoptera berumur pendek (Callosobruchus, Lasioderma, Stegobium) cenderung lebih lama (walaupun tidak selama lepidoptera), akibatnya produksi telurnya pun tidak sebanyak lepidoptera.

Hingga batas tertentu, kenaikan suhu lingkungan meningkatkan aktivitas makan. Hal ini menjelaskan sebagian pengaruh suhu terhadap pemendekan masa perkembangan serangga pascapanen. Fluktuasi suhu harian juga berpengaruh. Serangga yang hidup pada suhu konstan tinggi masa perkembangannya lebih singkat daripada suhu fluktuatif (walaupun dengan rata-rata suhu yang sama tinggi). Sementara itu pada suhu konstan rendah, masa perkembangannya lebih lama dibandingkan suhu fuktuatif dengan rata-rata sama rendah. 

Kadar air bahan simpan/kelembaban udara mempengaruhi lama stadium larva,. Kadar air bahan simpan yang rendah memperlama stadium larva, tetapi stadium telur dan pupa tidak terpengaruh sehingga hal ini mengubah keseimbangan struktur umur dalam populasi yang sudah stabil. 

Seperti dijelaskan sebelumnya, suhu lingkungan dan kelembaban di penyimpanan bisa saja sebagai sebab atau akibat dari keberadaan hama. Serangga membutuhkan kisaran suhu dan kelembaban optimum untuk perkembangannya. Sementara itu metabolisme serangga juga menghasilkan kalor dan uap air ke lingkungannya. Terakhir, misalnya pada Sitophilus dan Tribolium terdapat variasi masa perkembangan antarindividu yang cukup besar. Keragaman intrinsik seperti ini biasanya menguntungkan secara ekologis. 

Ketahanan hidup/survival

Serangga biasanya memiliki kisaran suhu optimum. Sedikit saja di luar kisaran suhu tersebut, terjadi penurunan populasi yang sangat besar Contohnya pada Tribolium,suhu optimum pertumbuhan adalah 25-37.5˚C. Ketahanan hidup akan turun drastis di luar kisaran tersebut. Kematian terbesar terjadi pada larva instar awal. Pola serupa tampaknya terjadi pada spesies Rhyzopertha, Oryzaephilus, Cryptolestes danTribolium (coleoptera berumur panjang) . 

Kadar air biji berkorelasi positif dengan ketahanan hidup. Kadar air meningkat, kondisi lingkungan makin baik untuk serangga sehingga ketahanan hidupnya pun meningkat. Sebaliknya, ketahanan hidup hama pascapanen menurun bila kadar air biji rendah. Implikasinya, kalaupun pengendalian hama tidak bisa dilakukan dengan menurunkan suhu (pendinginan), pengeringan dan pemanasan dapat pula bermanfaat. 

Kematian hama pascapanen pada suhu rendah merupakan fungsi dari laju pendinginan, lama waktu pendinginan, suhu dan spesies. Serangga akan punya
kesempatan menyesuaikan diri (aklimasi) bila laju pendinginan lambat.

Produksi telur

Serangga memerlukan nutrisi yang cukup untuk memproduksi telur. Lepidoptera biasanya mengakumulasi nutrisi pada saat larva, dan memproduksi telur dalam jumlah banyak hanya pada hari-hari pertama menjadi imago. Coleoptera biasanya hidup lebih lama dan memproduksi telur sepanjang hidupnya dalam proporsi yang lebih merata. Dengan demikian, coleoptera berumur panjang membutuhkan nutrisi sepanjang hidupnya.
Peningkatan suhu dan kadar air bahan simpan meningkatkan produksi telur, hanya saja produksi telur tertinggi dan ketahanan hidup tertinggi tidak terjadi pada satu titik suhu atau kadar air yang sama. Pada Tribolium, kombinasi ketahanan hidup dan produksi telur yang menghasilkan tingkat reproduksi maksimum terjadi pada suhu 27 0C dan kadar air 16%.
Sejumlah ngengat diketahui meningkat produksi telurnya bila menemukan sumber air, demikian pula kumbang Dermestes. Callosobruchus juga meningkat produksi telurnya karena nutrisi.
 
2. INTERAKSI ANTARINDIVIDU DAN ANTARSPESIES

Intraspesifik (antarindividu)

Interaksi antarindividu dalam satu spesies menentukan distribusi dan kelimpahan serangga. Pada kepadatan populasi rendah, laju pertumbuhan biasanya kecil karena kesulitan untuk menemukan pasangan seksual misalnya. Ketika populasi bertambah, laju pertumbuhan meningkat secara eksponensial karena kelimpahan sumber makanan dan kesesuaian lingkungan. Sejalan dengan pertambahan populasi yang tinggi, terjadi kompetisi/persaingan untuk makan dan perkawinan sehingga menimbulkan efek negatif bagi populasi. Pada spesies tertentu bahkan terjadi kanibalisme terhadap serangga dalam stadium inaktif (telur dan pupa). Walaupun demikian, tekanan populasi seperti ini jarang terjadi karena kecenderungan migrasi bila populasi meningkat. Kompetisi umumnya terjadi pada populasi di penyimpanan yang kosong, sarana transportasi maupun peralatan pengolahan di mana jumlah makanan relatif sedikit.

Interspesifik (antarspesies)

Interaksi antarspesies juga mempengaruhi laju pertumbuhan suatu spesies serangga. Berbagai pola interaksi ditemukan di penyimpanan, yaitu:

Suksesi, yaitu pergantian dominansi spesies pada pernyimpanan kerena perubahan lingkungan dan sumber makanan. Pada saat awal yang dominan adalah hama primer, kemudian digantikan hama sekunder, selanjutnya mungkin serangga pemakan cendawan atau sisa-sisa.

Kompetisi, terjadi bila dua spesies hama memiliki relung ekologis yang sama (bandingkan dengan suksesi dimana masing-masing spesies memiliki peran berbeda.)

Predasi, bisa oleh spesies predator (misal kepik Xylocoris sp.) atau spesies hama yang menjadi karnivor fakultatif pada kondisi ekstrim.

Parasitisme, kebanyakan Hymenoptera famili Trichogrammatidae, Bethylidae, dan Pteromalidae menjadi parasitoid hama gudang. Termasuk parasitisme adalah serangan mikroorganisme seperti protozoa, bakteri dan cendawan entomophaga penyakit terhadap hama pascapanen

Faktor Iklim

Unsur-unsur iklim mikro yang sangat berpengaruh pada perkembangan hama gudang, yaitu : temperatur, kelembapan, kadar air dan aerasi. Unsur-unsur ini dapat mengembangkan, melumpuhkan, menghambat perkembangbiakan atau memusnahkan populasi hama pascapanen. Suhu lingkungan dan kadar air bahan simpan merupakan faktor utama yang mempengaruhi masa perkembangan. Pada Ordo Coleoptera dan Lepidoptera, kadar air lebih dominan pengaruhnya dibanding suhu dan makanan. Kenaikan suhu lingkungan meningkatkan aktivitas makan hama pascapanen pada batas tertentu. Hal ini menjelaskan bahwa suhu berpengaruh terhadap pemendekan masa perkembangan serangga pascapanen. Fluktuasi suhu yang terjadi setiap harinya juga mempengaruhi perkembangan hama pascapanen. Serangga yang hidup pada suhu tinggi masa perkembangannya lebih singkat daripada suhu fluktuatif walaupun dengan rata-rata suhu yang sama tinggi. Sementara itu pada suhu rendah, masa perkembangannya lebih lama dibandingkan suhu fluktuatif dengan rata-rata sama rendah. Kadar air bahan simpan mempengaruhi lama stadium larva. Kadar air bahan simpan yang rendah memperlama stadium larva, tetapi stadium telur dan pupa tidak terpengaruh.

Serangga mempunyai kisaran suhu optimum untuk perkembangannya. Apabila suhu optimum tersebut tidak terpenuhi, maka akan terjadi penurunan populasi hama pascapanen, contohnya pada Tribolium(Coleoptera berumur panjang), suhu optimum pertumbuhannya adalah 25-37,5°C. Ketahanan hidup hama tersebut akan turun apabila hidup pada lingkungan diluar kisaran suhu tersebut dan kematian terbanyak terjadi pada larva instar awal. Hal serupa terjadi juga pada hama pascapanen Rhyzopertha, Oryzaephilus dan Cryptolestes. Peranan temperatur juga mempengaruhi perkembangan hidup hama pascapanen, apalagi pada perlakuan fumigasi. Dilaporkan hama pascapanen yang hidup pada temperatur tinggi akan lebih peka terhadap perlakuan fumigasi. Kadar air pada biji berhubungan dengan ketahanan hidup hama pascapanen. Apabila kadar air tinggi akan membuat kondisi lingkungan sesuai untuk perkembangan hama pascapanen, sehingga ketahanan hidupnya pun meningkat. Sebaliknya, ketahanan hidup hama pascapanen menurun bila kadar air pada biji rendah. Implikasinya, kalaupun pengendalian hama tidak bisa dilakukan dengan menurunkan suhu (pendinginan), perlakuan pengeringan dan pemanasan juga dapat dilakukan untuk pengendalian.

Faktor Makanan

Ketahanan hidup dan produksi telur serangga hama pascapanen tergantung pada kesesuaian lingkungan dan makanan. Dalam kondisi normal, gudang adalah sumbermakanan sehingga permasalahan utama bagi serangga adalah suhu dan kadar air/kelembapan. Walaupun demikian, sebagian besar serangga hama pascapanen dapat hidup pada berbagai bahan simpan dan terdapat variasi kelimpahan serangga pada tiap-tiap bahan simpan. Makanan yang cukup dan sesuai dengan yang dibutuhkan hama pascapanen akan mendukung perkembangan populasi hama, sebaliknya makanan yang cukup tetapi tidak sesuai dengan yang dibutuhkan akan menyebabkan hama tidak menyukai bahan simpan/makanan tersebut atau akan dapat menekan populasi hama tersebut. 

Ketidakcocokan makanan dapat timbul karena : 
1. Kurangnya kandungan unsur yang diperlukannya; 
2. Rendahnya kadar air dalam kandungan makanan; 
3. Permukaan material (bahan pangan) terlalu keras; 
4. Bentuk material (bahan pangannya). 

Serangga memerlukan nutrisi yang cukup untuk memproduksi telur. Ordo Lepidoptera biasanya mengakumulasi nutrisi pada saat larva, dan memproduksi telur dalam jumlah banyak hanya pada hari-hari pertama menjadi imago. Imago dari Ordo Coleoptera biasanya hidup lebih lama dan memproduksi telur sepanjang hidupnya dalam proporsi yang lebih merata. Dengan demikian, imago Coleoptera berumur panjang dan membutuhkan nutrisi sepanjang hidupnya. Peningkatan suhu dan kadar air dari bahan simpan akan meningkatkan produksi telur, hanya saja produksi telur tertinggi dan ketahanan hidup tertinggi tidak terjadi pada satu titik suhu atau kadar air yang sama. Seperti yang terjadi padaTribolium, ketahanan hidup dan produksi telur yang dihasilkan pada tingkat reproduksi maksimum terjadi pada suhu 270C dan kadar air 16%. Sejumlah ngengat diketahui meningkat produksi telurnya bila menemukan sumber air, demikian pula kumbang Dermestes, Callosobruchus juga meningkat produksi telurnya karena nutrisi. Dengan mengetahui ekologi hama pascapanen dapat mempermudah tindakan yang harus dilakukan untuk mengendalikan distribusi dan kelimpahan hama pascapanen di penyimpanan/gudang. Tindakan pengendalian dilakukan dengan memanipulasi ekologi hama pascapanen yaitu seperti : 

Sortasi, yaitu memilih dan memisahkan produk yang akan disimpan dalam gudang, mana yang terserang hama dan mana pula yang keadaan atau kualitasnya benar-benar baik; Pengolahan, dimana produk-produk yang telah terserang hama pascapanen dipisahkan, terutama jika kadar air masih tinggi, dilakukan pengeringan yang dapat dilakukan dengan cara penjemuran; Penataan, yang dimaksud disini ialah penempatan produk di dalam gudang secara teratur dalam keadaan ruangannya yang bersih. 

Munculnya suatu teknologi pascapanen dan adaptabilitasnya disuatu tempat didasarkan pada pertimbangan fisiologis, fisik-morfologis, patologis serta pertimbangan ekonomis. Teknologi pascapanen sangat spesifik produk dan spesifik lokasi, untuk itu perlu dilakukan pengkajian mengenai pengembangan teknologi pascapanen karena banyaknya hasil pascapanen di Indonesia yang khas.

Pertimbangan fisiologis

Pertimbangan fisiologis yang dicirikan dengan laju respirasi/laju metabolisme dilakukan untuk memperlambat kemunduran mutu dan kesegaran produk pascapanen. Salah satu cara untuk menurunkan laju metabolisme adalah dengan pendinginan, sehingga teknologi pendinginan sedang dikembangkan untuk mengawetkan produk pertanian sesaat setelah dilakukan pemanenan (pre-cooling) sebelum penyimpanan, transportasi dan sampai ke konsumen. Macam teknologi pre-cooling yang ada antara lain : forced-air cooling, vacuum cooling, hydro-cooling dan package icing.

Pertimbangan fisik-morfologis

Jaringan dermal atau kulit pada produk pascapanen pertanian sangat beragam, sehingga kerentanannya terhadap kerusakan mekanisnya juga beragam pula. Selain itu juga terjadinya proses layu akibat laju transpirasi yang tinggi, yang dapat menurunkan nilai jual.

Pertimbangan patologis

Produk pascapanen akan diserang oleh berbagai mecam jenis mikroorganisme baik penyebab pembusukan maupun bukan penyebab pembusukan serta penyebab penyakit pada manusia. Usaha pencegahan dan pengendalian mikroorganisme yang menyerang produk pascapanen sekarang lebih diarahkan pada Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Postharvest Handling Practices (GPHP). Bahan kimia yang diijinkan untuk tindakan pengendalian hama pada produk pascapanen seperti larutan klorin, penggunaannya masih memerlukan pertimbangan seperti karakteristik fisik-morfologis kulit produk pascapanen. Terkadang mikroorganisme masih dapat bersembunyi pada stomata, lentisel dan hidatoda yang tidak dapat dijangkau oleh larutan klorin karena adanya tegangan permukaan air yang tinggi. Efektivitas klorin menurun apabila pH larutan tidak pada pH optimum (pH = 7,0) dan adanya cemaran organik yang cenderung mengikat bahan aktif klorin. Untuk itu penerapan GAP dan GPHP penting dilakukan guna mencegah kontaminasi mikroorganisme patogenik pada produk pascapanen.

Pertimbangan ekonomis

Teknologi yang digunakan untuk penanganan produk pascapanen haruslah mempertimbangkan nilai ekonomi. Banyak teknologi pascapanen yang dikembangkan di negara-negara maju tidak dapat diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia. Kelemahan financial dan kurangnya akses pasar, sehingga penerapan teknologi tersebut tidak dapat dilakukan.seperti contohnya teknologi forced-air cooling dan vacuum cooling yang diterapkan di negara maju, tetapi belum dapat diterapkan dinegara kita. Teknologi penanganan pascapanen untuk negara berkembang seperti Indonesia ini hendaknya dengan mempertimbangkan aspek ekonomis. Hasil pertanian berupa biji-bijian kering disimpan dengan tujuan untuk keperluan konsumsi manusia atau hewan ternak dan untuk keperluan menyediakan benih tanaman. Biji yang kering seperti kering kebun/kering sawah dan kering karena dijemur (dikeringkan). Pada keadaan kering kebun, biji umumnya mengandung kadar air yang cukup tinggi, sehingga keadaannya masih tergolong lembap. Sebelum disimpan, kadar air ini harus diturunkan lagi sampai tingkat rendah. Persentase kandungan air terendah yang dapat dicapai sangat tergantung pada ukuran biji, keadaan kulit luar biji dan umur fisiologis biji.

Biji untuk konsumsi

Tujuan utama menyimpan biji-bijian untuk keperluan konsumsi manusia atau hewan ternak adalah mendapatkan mutu bahan yang keadaannya tetap prima dan terhindar dari berbagai kerusakan meskipun telah disimpan cukup lama. Agar tujuan yang dimaksud dapat terlaksana maka diperlukan persiapan dan penanganan bahan secara baik dan benar. Untuk itu sebaiknya bahan dikeringkan dan diupayakan agar kadar air bahan rendah. Untuk melakukan uji secara sederhana, yaitu cukup menggigit biji kering. Jika mudah retak atau pecah berarti tingkat kekeringan bahan tercukupi. Contoh dari menyimpan biji untuk konsumsi berupa biji kakao yang aman untuk disimpan adalah biji kakao yang mempunyai kadar air 6-7% dan keadaannya bersih. Agar biji dalam penyimpanan kondisinya tetap baik, sebaiknya disimpan dengan menggunakan kemasan dan disimpan pada tempat yang bersuhu 300C serta kelembapan relatif 74%. Sedangkan suhu minimal yang diijinkan sekitar 250C pada kelembapan yang sama. Biji kakao kering mudah sekali menyerap uap air. Oleh karena itu, kemasan karung yang dipergunakan untuk menyimpan biji dipilih yang anyamannya lebih rapat dan mempunyai permukaan halus atau licin. Dalam jumlah yang tidak banyak biji dapat dikemas dengan kaleng.

Biji untuk benih

Biji-bijian yang dipergunakan sebagai benih umumnya jumlahnya terbatas, sehingga cara penanganannya lebih mudah dibandingkan dengan biji untuk keperluan konsumsi. Prinsip penyimpanannya sama dengan biji-bijian untuk dikonsumsi yaitu biji disimpan dalam keadaan sama dengan biji-bijian kering. Biji kering yang sudah dipisahkan dari daging buah atau kotoran lain, kemudian dikemas untuk disimpan. Cara lain untuk menyimpan biji sebagai benih adalah dengan mencampurkan biji dengan pasir kering dengan perbandingan 3:1 atau 1:5. Selain itu kita dapat mengemas dengan botol yang bagian dasar dan atasnya ditutup dengan abu, pasir halus, atau sekam. Dengan cara seperti ini serangga hama diharapkan tidak dapat masuk ke dalam botol dan kadar air produk pascapanen tetap dapat dipertahankan. Agar kondisi biji tidak banyak terpengaruh oleh perubahan temperatur atau kelembapan lingkungan benih, sebaiknya dikemas dengan kemasan kedap udara seperti aluminium foil atau kantong plastik dan selanjutnya disimpan dalam kaleng atau kemasan kaca tertutup, kemudian disimpan ditempat yang kering dan sejuk.

Dengan mengetahui ekologi hama pascapanen tersebut diatas, diharapkan para petani dan pengepul produk pascapanen dapat menerapkannya. Salah satunya dengan membuat tempat penyimpanan seperti suhu, kelembapan dan lainnya agar tidak mendukung untuk perkembangan hama pascapanen. Penanganan produk pascapanen dilakukan guna menjaga nilai jualnya agar tidak menurun diperlukan berbagai teknologi untuk mendukungnya. Namun untuk menerapkan teknologi tersebut juga harus mempertimbangkan berbagai faktor-faktor diatas. Untuk itu, perlu dukungan pemerintah agar petani dan para pengusaha skala kecil dapat menerapkannya.






Referensi


Agrios, G.N. 1997. Plant Pathology 4th ed. Academic Press, New York.


Sri S. D., Danik D. A., Nurhayati, Mira S., Sandi F. A. R. Y., Ida B. K. W. Y., 2008. Teknologi Pangan. Depdiknas.

0 comments :

Posting Komentar

Ikuti Saya ^___^

visitors

 

My Blog List

Feedjit

PLANT HOSPITAL Copyright © 2009 Flower Garden is Designed by Ipietoon for Tadpole's Notez Flower Image by Dapino